Jumat, 23 Oktober 2009

ijma' usul fiqih

Pendahuluan

Allah SWT. Telah memberikan pedoman /syariat kepada hambanya sebagai bekal untuk hidup didunia dan kesejahteraannya di ahirat, yang allah turunkan melalui rasulnya yang berupa alqur’an dan hadis, karena dalil- dalil atau nas-nas yang ada dalam al-quran dan hadis terbatas jumlahnya sedangkan peristiwa yang terjadi semakin bertambah sesuai dengan perkembangan jumlah manusia yang setiap hari bertambah sehingga peristiwa yang terjadi menjadi tidak terbatas.
Dari masalah- masalah yang belum ada nasnya Kemudian dimasukkannya hukum –hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (di ijma’ ), kemudian juga di masukkan hukum-hukum dari hasil ijtihad (di qiyas )sehingga oleh jumhurul ulama’ disepakati bahwa suber- sumber syariat islam adalah al-qur’an sunnah /hadis ijma’ dan qiyas karena hal ini tidak bertentangan dengan Surat Annisa’ ayat 59.
Karena syariat itu adalah hokum –hukum yang telah dinyatakan dan ditetapkan oleh allah sebagai peraturan hidup manusia untuk diimani ,diikuti dan dilaksanakan dalam kehidupannya, maka kita perlu untuk mengetauhui apa yang di maksud sunnah ,ijma’ dan qiyas .



Pembahasan
Ijma’

1. Pengertian
Ijma’ menurut ahli Ushul :
إجماع لغة العزم و الإتفاق
شرعا إتفاق المجتهد ين من أمة محمد في عصر علي أمر ديني
Menurut Imam Al-Ghazali, Ijma’ adalah :
هو عبارة عن إتفاق أمة محمد خا صة علي أمر من الأمور الدنيوية
Artinya : “Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.”
Sementara itu Al-Amidi yang juga pengikut Imam Syafi’I merumuskan ijma’ adalah “ Kesekepakatan sejumlah ahlul Halli wal ‘Aqd (para ahli yang kompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.”
Jumhur ulama Ushul fiqih, sebagaimana yang dikutip Wahbah al-Zuhaili, Muhammad Abu Zahrah, dan ‘Abdul Wahhab Khallaf, merumuskan ijma’ adalah “kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad pada suatu masa stelah wafatnya Rasulullah terhadap suatu hukum syara’.”
Kesimpulannya dan merupakan defenisi yang lebih kuat, logis, lebih sesuai dan lebih banyak dipakai oleh beberapa ahli, adalah :
هو إتفاق مجتهد ي أمة محمد بعد وفاته في عصر من الأصار علي أمر من الأمور
2. Rukun-rukun ijma’
Dari definisi dan dasar hukum ijma' di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijma' sebagai berikut:
1. Harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu.
2. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
3. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu.
4. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid.
3.Status kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at.
Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum dengan nilai kehujjahan yang bersifat zhanny. Sedangkan golongan Syi’ah memandang bahwa ijma’ ini sebagai hijjah yang harus diamalkan, Namun lebih lanjut, kalangan Syi’ah tidak menerima ijma’ sebagai hujjah, dengan alasan karena pembuat hukum menurut keyakinan mereka adalah iman yang mereka anggap ma’shum (terhindar dari dosa).
Untuk menguatkan pendapatnya ini, jumhur mengemukakan beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, diantaranya :
1. Q.S Al-Nisa, ayat 59 :




2. Q.S Al-Baqarah, ayat 143 :


3. Hadits Nabi yang artinya : “Umatku tidak akan berkumpul melakukan kesalahan (H.R.al-Tirmidzi) “ menurut redaksi hadits lain, artinya : “ saya memohon kepada Allah agar umatku tidak sepakat melakukan kesalahan lalu Allah mengabulkannya (H.R.Ahmad bin Hambal dan al-Thabari)”.
Apabila mujtahid telah sepakat terhadap suatu ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib ditaati oleh umat. Hukum yang disepakati itu adalah hasil pendapat para mujtahid umat Islam, kerenanya pada hakikatnya hukum ini adalah hukum umat yang dibicarakan oleh mujtahid dan ijma’ ini menempati tingkat ketiga sebagai hukum syar’i, setelah Al-Qur’an dan Hadits.

4. Kemungkinan terjadinya Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian juga haramnya lemak babi dan lain-lain hukum furu’ sebagaimana yang tersebar dalam kitab-kitab fiqih.
Ulama yang berpendapat tidak mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi sulitnya mencapai kata sepakat diantara sekian banyak ulama mujtahid, sedangkan ulama yang menyatakan mungkin terjadinya ijma’ melihat dari segi secara teoritis memang dapat berlaku meskipun sulit terlaksana secara praktis.
Para ulama ushul fiqih klasik dan modern telah membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’. Mayoritas ulama klasik mengatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual ijma’ itu telah ada. Mereka mencontohkan hukum-hukum yang telah disepakati , seperti kesepakatantentang pembagian harta waris bagi nenek sebesar seperenam dari harta waris dan larangan menjual makanan yang belum ada ditangan penjual.
Adapun ijma’ dalam pandangan ulama ushul fiqih kontemporer, seperti Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf, dan Wahbah Zuhaili, mengatakan bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah dizaman sahabat, karena para sahabat masih berada pada satu daerah. Adapun dimasa sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin, karena luasnya wilayah Islam dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat. Zakiyuddin Sya’ban mengatakan bahwa apabila didapati dalam kitab-kitab fiqih ungkapan ijma’, maka yang mereka maksud kemungkinan ijma’ sukuti atau ijma’ kebanyakan ulama, bukan ijma’ sebagaimana yang didefenisiskan oleh para ahli ushul fiqih.

5. Macam-macam ijma’.
Adapun ijma’ ditinjau dari cara-cara terjadinya atau cara menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Ijma’ Sharih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan dengan cara memberi fatwa atau mempraktekkannya.
2. Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dari hukum suatu peristiwa dengan memfatwakannya atau mempraktekkannya, sedangkan sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya dan tidak pula menentangnnya.
Ijma’ sharih merupakan ijma’ yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyah. Pendapat tersebut dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan ijma’ sukuti adalah merupakan ijma’ i’tibari (relatif) lantaran mujtahid yang tidak memberi tanggapan belum tentu menunjukkan pada sikap setuju. Dengan demikian tidak menjamin adanya kesepakatan atau ijma’, yang akibatnya selalu dipertentangkan kehujjahannya. Kemudian jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ sukuti tidak bisa dkatakan sebagai hujjah, disamping ijma’ sukuti itu anya merupakan pendapat sebagian mujtahid.
Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ijma’ Qathi’ Dilalah, yakni hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan, serta tidak boleh mengadakan ijtihad terhadap hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh ijma’ itu (Ijma’ Sharih/Qath’i).
2. Ijma’ Zhanii Dalalah, yakni hukumnya diduga kuat mengenai suatu kejadian, oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid (Ijma’ sukuti).
Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu :
1. Ijma’ Qath’i, yaitu ijma’ yang diketahui terjadinya diantara umat ini secara pasti.
2. Ijma’ Zhanni, yaitu ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan cara menelaah dan meneliti.
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma’ dibagi menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu :
1. Ijma’ Ummah 4. Ijma’ Ahli Kufah
2. Ijma’ Shahaby 5. Ijma’ Ahli Bait
3. Ijma’ Ahli Madinah 6. Ijma’ Khulafaur rasyidin
Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu :
1. Dengan Ucapan (qauli), yaitu kesepakatan berdasarkan pendapat yang dikeluarkan para mujtahid yang diakui sah dalam suatu masalah.
2. Dengan Perbuatan (fi’li), yaitu kesepakatan para mujtahid dalam mengamalkan sesuatu.
3. Dengan Diam (sukuti), yaitu apabila tidak ada diantara para mujtahid yang membantah terhadap pendapat satu atau dua mujtahid lainnya dalam suatu masalah.

6. objek ijma’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.






















Kesimpulan

Ijma’ menurut bahasa adalah azam dan ittifaq(kesepakatan). Sedangkan menurut istilah yang sering dipakai oleh kebanyakan ulama adalah :
هو إتفاق مجتهد ي أمة محمد بعد وفاته في عصر من الأصار علي أمر من الأمور
Status kehujjahan dan kedudukannya dalam syari’at, yaitu Kebanyakan ulama menetapkan bahwa ijma’ dapat dijadikan hujjah dan sumber hukum Islam dalam menetapkan hukum, dengan dalil dari Al-Quran dan Sunnah.
Kemungkinan terjadinya Ijma’, yaitu Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian juga haramnya lemak babi dan lain-lain.
Macam-macam ijma’, yaitu :
Adapun ijma’ ditinjau dari cara-cara terjadinya atau cara menghasilkannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
Ijma’ Sharih,
Ijma’ Sukuti,
o Sedangkan ditinjau dari segi qathi’ atau zhanni dalalah hukumnya juga terbagi menjadi dua, yaitu :
Ijma’ Qathi’ Dilalah,
Ijma’ Zhanii Dalalah,
o Ada lagi lagi yang membagi ijma’ menjadi dua macam, yaitu :
Ijma’ Qath’i,
Ijma’ Zhanni,
Sedangkan dalam tatanan ilmu yang lebih luas lagi, ijma’ dibagi menjadi beberapa macam, yaitu :
Ijma’ Ummah 4. Ijma’ Ahli Kufah
Ijma’ Shahaby 5. Ijma’ Ahli Bait
Ijma’ Ahli Madinah 6.Ijma’Khulafaur rasyidin
o Ijma’ (kesepakatan) ulama ini dapat dibagi menjadi tiga cara, yaitu :
Dengan Ucapan (qauli),
Dengan Perbuatan (fi’li),
Dengan Diam (sukuti),


Daftar Pustaka

Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsmani. Ushul Fiqih. Jogjakarta : Media Hidayah. 2008.
Syekh Ali bin Muhammad Al-Jurjani. At-Ta’rifat. Haromain.
Syarifuddin, Amir. Prof.Dr. Ushul Fiqih jilid I. Ciputat : Logos. 1997.
Wahhab Khallaf, Abdul. Prof. Dr. (alih bahasa : Prof. KH. Masdar Helmy). Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Gema Risalah Press. 1997.
Yahya, Mukhtar.Prof. Dr.dan Prof. Drs. Fatchurrahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam. Bandung : Al-Ma’arif. 1993.
Suparta.Drs. dan Drs. Djedjen Zainuddin. Fiqih . Semarang : Toha Putra. 2004.
Haroen, Nasrun.Dr. MA. Ushul Fiqih I. Ciputat : Logos. 1997.