Jumat, 23 April 2010

makalah jual beli

Bab I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi, mereka dapat mengambil dan memberikan manfaat. Salah satu praktek yang merupakan hasil interaksi sesama manusia adalah terjadinya jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. Islam pun mengatur permasalahan ini dengan rinci dan seksama sehingga ketika mengadakan transaksi jual beli, manusia mampu berinteraksi dalam koridor syariat dan terhindar dari tindakan-tindakan aniaya terhadap sesama manusia, hal ini menunjukkan bahwa Islam merupakan ajaran yang bersifat universal dan komprehensif.Melihat paparan di atas, perlu kiranya kita mengetahui beberapa pernik tentang jual beli yang patut diperhatikan bagi mereka yang kesehariannya bergelut dengan transaksi jual beli, bahkan jika ditilik secara seksama, setiap orang tentulah bersentuhan dengan jual beli. Oleh karena itu, pengetahuan tentang jual beli yang disyariatkan mutlak diperlukan.


Bab II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Jual Beli
Secara etimologis, jual beli menurut bahasa berarti al-bai’,al-tijarah, dan al-mubadalah. Atau berarti مقا بلة الشئ بالشئ ( menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu) .
Sedangkan menurut istilah syara’, jual beli adalah sebagai beriku :
1. عقد يقتضي إنتقال الملك في المبيع للمشتري و في الثمن للبا ئع
“ Suatu aqad yang menuntut perpindahan kepemilikan barang kepada pembeli dan harga/uang kepada penjual”.
مقا بلة مال بمال علي وجه مخصو ص 2.
“Tukar menukar harta/benda dengan harta/benda dengan cara khusus(dibolehkan)”

نقل الملك فى العين بعقد المعاوضة 3.
“ Pemindahan kepemilikan pada suatu benda dengan aqad (jalan) tukar menukar”.

2. Dasar Hukum
Jual beli disyariatkan di dalam Alquran, sunnah, ijma, dan dalil akal. Allah SWT berfirman: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Alquran, 2:275). Dan juga sabda Nabi Muhammad yang diriwatkan oleh Ibn Hibban dan Ibn Maajah, yang artinya :”Seseungguhnya jual beli hanya sah dengan saling mereakan”. Dalam hadits lain Nabi bersabda: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli
• Akad, yaitu Ikatan kata antara penjual dan pembeli
• Penjual dan pembeli
• Ma’kud alaih(objek akad) / Benda-benda yang diperjual belikan
Syarat sah ijab Kabul :
• Jangan ada yang memisahkan,
• Jangan diselangi kata-kata lain antara ijab dan kabul.
• Beragama islam.
Syarat-syarat Sah Jual Beli
Kondisi umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan dan kezaliman.Lalai terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Berikut beberapa syarat sah jual beli yang dirangkum dari kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya- untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:
1. Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan.
2. Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang).
Kedua, Syarat benda yang menjadi objek akad :
a. Suci, maka tidak sah penjualan benda-benda najis, kecuali anjing untuk berburu.
b. Memberi manfaat menurut syara’.
c. Jangan dikaitkan atau digantungkan dengan hal-hal lain
d. Tidak dibatasi waktunya.
e. Dapat diserahkan dengan cepat ataupun lambat.
f. Milik sendiri.
g. Diketahui barang yang diperjual belikan tersebut baik berat, jumlah, takaran dan lain-lainnya.
4. Macam-macam jual beli :
Jual beli ditinjau dari segi hukumnya dibagi menjadi dua macam yaitu :
a. Jual beli yang syah menurut hukum dan batal menurut hukum
b. Dari segi obyek jual beli dan segi pelaku jual beli
Ditinjau dari segi benda yang yang dijadikan obyek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagai menjadi tiga bentuk, yaitu : “Jual beli yang kelihatan, Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan Jual beli benda yang tidak ada.
5. Jual Beli yang dilarang
Jual beli ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang, berikut jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah :
 Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar.
 Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli ini haram hukumnya
 Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
 Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen.
 Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar.
 Jual beli gharar yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan adanya penipuan,
 Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini menunjukkan kurang saling mempercayainya antara penjual dan pembeli.
6. Hikmah dan Manfaat Jual Beli
Banyak manfaaat dan hikmah jual beli, diantaranya :
1. Dapat menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
2. Dapat memenuhi kebutuhan atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
3. Masing-masing pihak merasa puas.
4. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram(batil).
5. Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah.
6. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

7. Melaksanakan Jual Beli yang benar dalam kehidupan.
Jual Beli itu merupakan bagian dari pada ta”awun (saling tolong menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membuuhkan uang, sedangkan bagi penjual juga berarti enolong pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya jual beli itu adalah perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan ridha dari Allah, bahkan Rasulullah menegaskan bahwa penjual yang jujur dan benar kelak diakhirat akan ditempatkan bersama para Nabi, syuhada dan orang-orang shaleh.
Akan tetapi lain halnya apabila didalam jual beli itu terdapat unsure kedzaliman, seperti berdusta, mengurangi takaran, dan lainnya. Maka tidak lagi bernilai ibadah, tetapi sebaliknya yaitu perbuatan dosa. Untu menjadi pedagang yang jujur itu sangat berat, tetapi harus disadari bahwa kecurangan dan kebohongan itu tidak ada gunanya. Jadi usaha yang baik dan jujur itulah yang paling menyenangkan yang nantinya akan mendatangkan keberuntungan, kebahagiaan dan sekaligus Ridha Allah.


Bab III
KESIMPULAN

Jual beli menurut bahasa berarti menukar/mengganti sesuatu dengan sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah Menukar barang dengan barang atau barang dengan uangdenga jalan melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
Rukun jual beli
• Akad, yaitu Ikatan kata antara penjual dan pembeli
• Penjual dan pembeli
• Ma’kud alaih(objek akad) / Benda-benda yang diperjual belikan
Syarat sah ijab Kabul :
• Jangan ada yang memisahkan,
• Jangan diselangi kata-kata lain antara ijab dan kabul.
• Beragama islam.
Jual Beli yang dilarang
 Barang yang dihukumkan najis oleh agama seperti anjing, babi, berhala, bangkai dan khamar.
 Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan, jual beli ini haram hukumnya
 Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
 Jual beli dengan mukhadharah yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen.
 Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar.
 Jual beli gharar yaitu jual beli yang samar sehingga kemungkinan adanya penipuan,
 Larangan menjual makanan sehingga dua kali ditakar, hal ini menunjukkan kurang saling mempercayainya antara penjual dan pembeli.
Hikmah dan Manfaat Jual Beli
 Dapat menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
 Dapat memenuhi kebutuhan atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
 Masing-masing pihak merasa puas.
 Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram(batil).
 Penjual dan pembeli mendapat rahmat Allah.
 Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan






Daftar Pustaka

Imam Sayyid Bakr. I’anah At-Tholibin. Daar Ihya Kutub A’robiyah. Indonesia.
Imam Nawawi. Nihayah Az-Zain. Daar Ihya Kutub A’robiyah. Indonesia.
Imam Nawawi.Qut Al-Habib Al-Ghorib. Haromain. Indonesia.
Imam Abu Ishaq As-Syairozi. Muhazzab. Daar Ihya Kutub A’robiyah. Indonesia.
Imam Taqiyuddin Ad-Dimisyqy. Kifayah Al-Akhyar fi Halli GhayatAl-Ikhtishor. Daar Al-Fikr.
Suhendi, Hendi. Dr.H.M.Si. Fiqih Muamalah. 2008. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
www. Muslim.or.id.
Suparta. Drs. MA. Fiqih. 2004. Semarang : Karya Toha Putra.

Istidlall

BAB XIV
ISTIDLAL SEBAGAI SALAH SATU ALAT ATAU CARA MELAKUKAN IJTIHAD
A. Pengertian Istidlal
Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Menurut bahasa Istidlal adalah menuntut atau mencari dalil. Sedangkan menurut istilah adalah mencari, mempergunakan, atau menjadikan dalil bagi sesuatu, menegakkan dalil untuk suatu hokum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma, qias ataupun lainnya. Istidlal menurut Al-Syaukani adalah upaya menemukan landasan hokum suatu kasus. Ada lagi yang mendefinisikan Istidlal sebagai metode berdalil dengan berbagai dalil hokum selain Al-Quran dan Al-Sunnah, atau usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.

B. Perbedaan Istidlal dan Istinbath dalam Proses Pelaksanaan Ijtihad
Dalam proses pelaksanaan ijtihad, Istidlal dan istinbath merupakan hal yang urgen, keduanya merupakan cara dalam upaya penggalian hokum. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu:
Istidlal Istinbath
Istidlal merupakan upaya mencari pemecahan dan ketetapan hokum terhadap suatu peristiwa atau masalah yang tidak dijelaskan ketetapan hukumnya dalam nash atau ijma.
Contoh: masalah transplantasi tubuh. Masalah ini tidak dijelaskan ketetapan hukumnya dalam nash atau ijma. Istinbath merupakan upaya mengeluarkan atau mengeksplorasi makna-makna atau kandungan hokum yang terkandung dalam nash.
Contoh: imam malik mengistingathkan hokum tentang tidak wajib zakat pada kuda. Alasannya, karena ia disebutkan secara bersamaan dengan bighal dan keledai dalam satu ayat, yaitu: “ Dan Dia telah menciptakan kuda, bighal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan”. (QS. Al-Nahl:8).

C. Kedudukan Istidlal dalam Berijtihad Hasilnya dalam Hukum Islam
Kedudukan Istidlal dalam berijtihad adalah sebagai salah satu alat atau cara dalam melakukan ijtihad guna mencari dalil dalam rangka menentukan ketetapan hokum dari peristiwa atau masalah yang muncul.
Dengan demikian, dalam hal ini, Istidlal sama dengan hasil ijtihad. Hasil (produk) ijtihad dalam hokum islam dapat dijadikan sebagai dalil hokum, namun bersifat dzanni. Artinya, relative kebenarannya, ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan, untuk yang bersifat dzanni menurut sebagian ulama ushul fiqh, tidak dinamakan dalil, melainkan disebut imarah (indikasi). Akan tetapi, jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa petunjuk untuk mendapatkan hokum islam yang bersifat ‘amali baik yang bersifat dzanni maupun yang bersifat qath’i disebut dengan dali.

D. Proses Pelaksanaan Istidlal dalam Berijtihad
Pelaksanaan Istidlal dalam berijtihad dalam rangka mengambil kesimpulan hokum dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan ma’na (thuruq ma’nawiyah)
و ا لمعنو ية هي ا لستد لا ل من غير ا لنصو ص كا لقيا س و ا لستحسا ن و ا لمصا لح و ا لذ ر ا ع و غير ذ لك
“pendekatan ma’na ialah penarikan kesimpulan hokum dari selain nash. Maksudnya tidak langsung dari nash. Seperti mengguankan qiyas, istihsan, mashalih al-mursalah, Sadd al-Dzara’i dan sebagainya.”
2. Pendekatan lafdzi (thuruq lafdziyah)
Pendekatan lafadz penerapannya membutuhkan beberapa factor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafadz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi ataukan termasuk dalalah yang mafhum yang diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarah-ibarah nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari lafadz nash apakah berdasarkan ibarah nash ataukah isyarah nash dan sebaginya.

E. Pelaku Istidlal dan Waktu Pelaksanaan
Pelaku Istidlal adalah para ulama Mujtahid, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan Istidlal sama dengan orang yang melakukan ijtihad yaitu Mujtahid. Menurut ajaran islam mujtahid boleh berijtihad hanya yang bersangkut paut dengan urusan muamalat (keduniaan) jadi bukan urusan ibadat dan aqaid dan yang terhadap permasalahan-permasalahan hokum yang tidak didapati ketentuannya dalam al-Quran atau Sunah Rasul.
Istidlal dilaksanakan apabila ada sesuatu permasalahan yang membutuhkan jalan pemecahannya atau jalan keluarnya, sementara nash dan ijma’ tidak menjelaskan ketentuan hukumnya.

F. Pengertian Istidlal Mursal dan Contohnya
Istidlal mursal disebut juga munasib mursal, yaitu sesuatu yang baik menurut akal dan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, tetapi tidak ada dalil yang menentukan secara terperinci bahwa syariat melarang atau memperbolehkannya.
Menurut ulama ushul fiqh, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah untuk menyebut Istidlal mursal, sedangkan istilah istislah disebutkan oleh imam al-ghazali dan al-haramain al-juwaini, sementara ibnu al-sam’ani menyebutnya Istidlal, dan ulama ushul menyebutnya dengan Istidlal al-mursalah.
Jadi Istidlal al-mursalah adalah suatu upaya penetapan hokum yang di dasarkan pada kemashlahatan kendati tidak terdapat ketentuanya di dalam nash ataupun ijma, tidak ada pula penolakan atasnya secara tegas tetapi kemashlahatan itu didukung oleh dasar syari’at yang bersifat umum dan pasti, sesuai dengan maksud syara’. Contoh Istidlal mursal adalah sebagai berikut:
Di dalam nash tidak ditemukan perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tetapi umat islam mengkodifikasikan Al-Qur’an dalam satu mushaf, hal ini dilakukan tidak lain karena untuk kemashlahatan umat.

G. Kaitan Istidlal dengan Munasib dalam Membicarakan Qias pada Ushul Fiqih Syafi’iyah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Istidlal adalah penarikan kesimpulan hokum. Ahli mantiq membagi Istidlal (secara umum) menjadi dua, yaitu:
1. Istidlal Qiasi
2. Istidlal Istiqra’i
Penarikan kesimpulan hokum melalui Istidlal Qiasi dilakukan dengan menyusun dua qhadiyah, yang satu merupakan ashl dan yang lainnya adalah furu’. Antara ashl dan furu’ harus ada kesesuaian (munasib) ‘illatnya.
Contohnya:
Setiap yang memabukkan hukumnya haram (qhadiyah pertama sekaligus juga ashl). Berdasarkan hadits nabi saw:
كل مسكر حرا م (ر و ا ه مسلم)
Arak memabukkan (qhadiyah kedua sekaligus juga furu’).
Anatara ashl dan furu’ terdapat kesesuaian ‘iliat, yaitu memabukkan. Maka, kesimpulan hukumnya (Istidlal) adalah arak itu haram.

H. Pengertian dan macam-macam munasib
Munasib adalah sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemadharatan.
Al;amidi memberikan definisi dengan:
اا لمنا صب عبا ر ة عن وصف ظا هر منضبط يلز م من تر تب الحكم علي و فقه حصو ل علي ما يصلح ا ن يكو ن مقصو دا من شر ع ذ لك الحكم
“Munasib adalah ibarat dari suatu sifat yang dzahir (jelas) dan terukur, yang dari penetapan hukum atas dasar sifat itu niscaya akan tercapai apa yang patut menjadi tujuan ditetapkannya hukum tersebut.”
Dari definisi yang dikemukakan lihat bahwa al-amidi terlihat bahwa munasib itu dikaitkan kepada pencapaian tujuan pada suatu hukum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan kemadharatan dari umat.
Adapun pembagian munasib dari segi layak atau tidaknya dijadikan illat, menurut ushul fiqh, ada empat macam, yaitu:
1. Munasib almuatsir, yaitu, berlakunya ain illat (illat itu sendiri) dalam ain hukum (hukum itu sendiri) yang dipandang atau diperhitungkan oleh nash atau ijma’. Artinya, nash atau ijma’ itu sendiri yang menjelaskan illat itu untuk suatu hukum secara langsung.
Umpamanya penetapan ‘illat membatalkan wudhu dengan memegang kelamin. Hal ini ditetapkan langsung oleh nash sebagaimana terdapat hadis nabi dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh tirmidzi.
Contoh illat yang dipandang oleh ijma’ adalah menetapkan ‘illat kewalian ayah atas harta anak dibawah umur, keadaan “dibawah umur “ adalah ‘illat yang ditetapkan berdasaarkan ijma’.
2. Munasib al-mulghi, yaitu sifat yang menurut pandangan mujtahid mengandung kemaslahatan, tetapi ada nash hokum yang menolaknya. Misalnya, menetapkan kaffarah puasa dua bulan berturut-turut bagi orang kaya yang melakukan hubungan suami istri di siang hari di bulan ramadhan mengandung kemashlahatan, yaitu agar bisa mencegahnya melakukan hal yang sama, karena jika dikenakan kafarah memerdekakan budak, hal ini tidak akan mempengaruhi sifatnya, disebabkan dia orang kaya, sehingga berapapun banyak budak bisa ia merdekakan. Akan tetapi, sesuai dengan nash, kaffarah untuk kasus-kasus seperti ini harus dilakukan dengan berturut-turut dengan memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut, dan apabila tidak mampu juga, maka member makan enam puluh orang miskin. Oleh karena itu, mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut dianggap bertentangan dengan nash.
3. Munasib al-mursal, yaitu suatu sifat yang tidak didukung oleh nash dan tidak didukung oleh isyara’, namun sifat ini mengandung suatu kemaslahatan yang didukung oleh sejumlah makna nash.
Menurut ulama malikiyah dan hanabilah, sifat seperti ini dapat dijadikan ‘illat, dengan alas an bahwa sekalipun nash secara rinci tidak ada yang mendukung saat ini, namun sifat ini didukung oleh sejumlah makna nash. Pendapat mereka ini juga diterima Imam Ghazaji, dengan syarat bahwa kemashlahatannya bersifat dharuri, pasti dan universal. Akan tetapi, menurut ulama hanafiyah dan syafi’iyah tidak dapat dijadikan illat hukum, karena tidak didukung secara langsung oleh nash yang rinci.
4. Munasib al-mula’lim, yaitu kesesuaian yang berlakunya ‘ain ‘illat untuk ‘ain hukum secara langsung bukan ditetapkan oleh nash atau ijma’. Namun, nash atau ijma’ secara langsung memandang hubungan ‘illat dengan hukum tersebut dengan cara memandang ‘ain sifat untuk jenis hukum atau jenis sifat untuk ‘ain hukum, bahkan juga jenis sifat untuk jenis hukum. Dengan demikian, munasib mula’im itu ada tiga bentuk:
• Nash atau ijma memandang ‘ain sifat berlaku untuk jenis hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat itu berlaku sebagai ‘illat untuk hukum itu, namun pernah memandang ‘ain ‘illat (sifat) berlaku sebagai ‘illat untuk suatu hukum yang sejenis dengan itu.
Umpamanya menetapkan kewalian nikah anak yang belum dewasa dengan ‘illat “belum dewasa”. Berlakunya illat “belum dewasa” untuk kewalian nikah tidak dipndang oleh nash atau ijma, namun ijma pernah memandang belum dewasa itu menjadi illat untuk hukum yang sejenis dengan itu, yaitu kewalian harta. Kedua kewalian itu berada dalam satu jenis kewalian.
• Nash atau ijma memandang jenis sifat untuk ‘ain hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat itu berlaku untuk ‘ain hukum, namun nash atau ijma pernah memandang sifat yang sejenis dengan itu berlaku untuk ‘ain hukum tersebut.
Umpamanya, kebolehan menjama’ shalat pada waktu hujan. Keadaan waktu hujan itu tidak pernah menjadi ‘illat yang ditetapkan oleh nash atau ijma’. Namun nash pernah menetapkan sifat lain yang sejenis dengan itu menjadi illat untuk bolehnya menjama’ shalat, yaitu dalam keadaan perjalanan. Kedua illat itu berada dalam satu jenis, yaitu sama-sama dalam kesulitan.
• Nash atau ijma hanya memandang jenis sifat menjadi illat untuk jenis hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat menjadi illat untuk ‘ain hukum. Namun nash atau ijma pernah memandang sifat yang sejenis dengan itu menjadi hukum bagi hukum lainnya yang sejenis dengan itu.
Umpamanya, seorang wanita yang sedang haid tidak wajib meng qahda shalat. Illatnya adalah kesukaran berulang-ulang qadha.
Kesukaran berulang-ulang melakukan qadha itu memang tidak pernah dijadikan nash atau ijma sebagai illat untuk hukum tidak wajibnya qadha shalat. Tetapi sifat yang sejenis dengan itu, yaitu kesukaran dalam perjalanan dipandang oleh nash menjadi illat untuk hukum yang sejenis dengan qadha, yaitu qashar shalat. Kedua sifat ini satu jenis, yaitu sama-sama dalam keringanan. Dengan demikian, setiap yang bersifat menyulitkan dapat menjadi illat bagi setiap hukum yang bersifat keringanan.
Jumhur ulama menerima keillatan suatu hukum yang hubungan antara keduanya dalam bentuk munasib mula’im, karena adanya pengakuan dari nash atau ijma, meskipun dalam bentuk yang paling kecil sebagaimana dalam bentuk ketiga dari bentuk munasib mula’im tersebut.

Jumat, 09 April 2010

keberagamaan pada masa pranatal dan anak

Bab I
Pendahuluan

Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak. Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu) terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private).
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.











Bab II
Pembahasan

Perkembangan Jiwa Beragama Pada Masa Pranatal dan Anak-anak

A. Agama Pada Masa Pranatal dan Anak- Anak
Masa Pranatal adalah masa konsepsi atau masa pertumbuhan, masa pembuahan sampai dengan masa pertumbuhan dan perkembangan individuyaitu pada saat pembuatan telur pada ibu oleh spermazoa pada ayah, bila spermatozoa pada laki-laki memasuki ovum pada perempuan terjadilah konsepsi atau pembuahan, terjadinya pembuahan semacam ini biasanya berlansung selama 280 hari, perkembangan pokok pada masa ini ialah perkembangan fisiologis berupa pembentukan struktur tubuh.
Masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Elizabeth B. Hurlock juga merumuskan tahap perkembangan manusia secara lebih lengkap sebagai berikut:
1. Masa Pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2. Masa Neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3. Masa Bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4. Masa Kanak- Kanak awal, umur 2 - 6 tahun
5. Masa Kanak- Kanak akhir, umur 6 - 10 atau 11 tahun.
Anak mengenal Tuhan pertama kali melalui bahasa dari kata- kata orang yang ada dalam lingkungannya, yang pada awalnya diterima secara acuh. Tuhan bagi anak pada permulaan merupakan nama sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya serta diragukan kebaikan niatnya. Tidak adanya perhatian terhadap tuhan pada tahap pertama ini dikarenakan ia belum mempunyai pengalaman yang akan membawanya kesana, baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyusahkan. Namun, setelah ia menyaksikan reaksi orang- orang disekelilingnya yang disertai oleh emosi atau perasaan tertentu yang makin lama makin meluas, maka mulailah perhatiannya terhadap kata tuhan itu tumbuh.
Perasaan si anak terhadap orang tuanya sebenarnya sangat kompleks. Ia merupakan campuran dari bermacam- macam emosi dan dorongan yang saling bertentangan. Menjelang usia 3 tahun yaitu umur dimana hubungan dengan ibunya tidak lagi terbatas pada kebutuhan akan bantuan fisik, akan tetapi meningkat lagi pada hubungan emosi dimana ibu menjadi objek yang dicintai dan butuh akan kasih sayangnya, bahkan mengandung rasa permusuhan bercampur bangga, butuh, takut dan cinta padanya sekaligus.
Menurut Zakiah Daradjat, sebelum usia 7 tahun perasaan anak terhadap tuhan pada dasarnya negative. Ia berusaha menerima pemikiran tentang kebesaran dan kemuliaan tuhan. Sedang gambaran mereka tentang Tuhan sesuai dengan emosinya. Kepercayaan yang terus menerus tentang Tuhan, tempat dan bentuknya bukanlah karena rasa ingin tahunya, tapi didorong oleh perasaan takut dan ingin rasa aman, kecuali jika orang tua anak mendidik anak supaya mengenal sifat Tuhan yang menyenangkan. Namun pada pada masa kedua (27 tahun keatas) perasaan si anak terhadap Tuhan berganti positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi oleh rasa percaya dan merasa aman.

B. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. walupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religius. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah ada yang berpendapat bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu, antara lain :
1. Rasa Ketergantungan (Sense of Depende)
Bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
2. Rasa Keagamaan
Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tidak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfngsinya instink itu belum sempurna.
C. Tahap Perkembangan Beragama Pada Anak
Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil dalam keluarga, disekolah, dan dalam masyarakat lingkungan. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama(sesuai dengan ajarannya), akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Sejalan dengan kecerdasannya, perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oelh dongeng- dongeng yang kurang ,masuk akal. Cerita akan Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.

2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
A. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
B. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
C. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Berkaitan dengan masalah ini.Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
A. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
B. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
C. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
D. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.

D. Sifat Agama pada Anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.

b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa. Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.

c. Anthromorphis
Konsep anak mengenai ketuhanan pada umumnya berasal dari pengalamannya. Dikala ia berhubungan dengan orang lain, pertanyaan anak mengenai (bagaimana) dan (mengapa) biasanya mencerminkan usaha mereka untuk menghubungkan penjelasan religius yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang bersifat subjektif dan konkret.


d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).

e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan.

f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang sangat penting.










Bab III
Kesimpulan

Masa anak- anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Jika mengikuti periodesasi yang dirumuskan Elizabeth B. Hurlock, dalam masa ini terdiri dari tiga tahapan:
1. 0 – 2 tahun (masa vital)
2. 2 – 6 tahun (masa kanak- kanak)
3. 6 – 12 tahun (masa sekolah)
Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu, antara lain :
- Rasa Ketergantungan (Sense of Depende)
- Rasa Keagamaan
Perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
A. Fase dalam kandungan
B. Fase bayi
C. Fase kanak- kanak
D. Masa anak sekolah
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam/ tanpa kritik)
b. Egosentris
c. Anthromorphis
d. Verbalis dan Ritualis
e. Imitatif
f. Rasa heran




Daftar Pustaka


Darajat, Zakiyah. Prof.Dr. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
Jalaluddin, Dr. 1997. Psikologi Agama. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Syukur Dister, Nico. Dr. Psikologi Agama, penerbit Kanisius. Indonesia.
Ramayulis, Prof.Dr.H.2002. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mulia.
Http//zanikhan.multiply.com/journal/500/prenatal.