Jumat, 07 Mei 2010

ta'arus adillah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ta’arud adalah berasal dari kata
( ) yang berarti pertentangan, berlawanan, kontradiksi.
Sedangkan kata al-adillah merupakan bentuk jamak dari kata dalil yang berarti alasan atau argument. (1)
Adapun menurut istilah ta’arud al-adillah adalah :
Menurut imam Al-Syaukani, ta’arud al-adillah adalah : “suatu dalil yang menetapkan hukum tertentu terhadap suatu permasalahan, tetapi dalil lain menetapkan hukum yang bertentangan dengan dalil itu”.(2)
Definisi lain yang dimaksud dengan ta’arud adalah saling berlawanannya dua dalil hukum yang salah satu di antara dua dalil itu menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
B. Macam-macam Ta’Arud
1. Ta’arud dalam Al-quran
Firman Allah swt Q.S. al-abaqarah 234, yang berbunyi :
( )
“dan (hendaklah istri) yang ditinggal oleh suami yang meninggal dunia menanti 4 bulan 10 hari.” (QS. Al-baqarah : 234)
Umum nash ini menghendaki bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya, beriddah selama 4 bulan 10 hari, yang menjelaskan masalah iddah istri, Allah swt, berfirman. QS, at-thalaq : 4 berbunyi :
( )
“dan segala wanita yang hamil iddahnya adalah bersalin”.
Umum nash ini bahwa tiap-tiap wanita hamil, habis iddahnya dengan bersalin, baik ia bercerai karena suaminya meninggal ataupun tidak.(3)

2. Ta’arud dalam hadits
Yaitu salah satunya mengenai persoalan riba, Rasulullah SAW bersabda :
( )
“tidak ada riba kecuali riba nasiah (riba yang muncul dari hutang piutang)”. (HR.Bukhari-Muslim).
Hadits tersebut menyatakan bahwa tadak ada bentuk riba, selain riba nasiah.
Sedang dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda :
( )
“jangan kamu jual gandum dengan gandum, kecuali dalam jumlah yang sama.” (HR.BukhariMuslim-Ahmad)
Tampak terlihat adanya pertentangan mengenai hukum riba. Hadits pertama membolehkan riba selain riba nasiah (fadl), sedang hadits kedua mengharamkanya.(4)
3. Ta’arud dalam Qiyas
Mengenai perkawinan Nabi SAW kepada aisyah, waktu itu aisyah baru berusia 6 tahun dan mengumpulinya pada usia 9 tahun. (HR. Muslim) pada permasalahan madzhab hanapi memiliki pandangan atau pemahaman yang berbeda dengan madzhab syafi’I tentang I’llat perwalian. Menurut imam abu hanifah illat perwalian adalah : “sighar” (keadaan di bawah umur) Karen itu hak perwalian pada usia baligh.
Sedangkan menurut imam syafi’i illatnya adalah “bikarah” (kegadisan) jadi, hak perwalian hilang apabila anak melangsungkan pernikahan, walaupun belum smpai pada usia baligh, dan hak perwalian tetap ada walaupun usia sudah sampai baligh dan belum menikah.
C. Faktor Penyebab Ta’arud Al-Adillah
Muhammad Abu Zahrah, berpendapat bahwa terjadinya pertentangan dalil itu terlepas dari 3 kemungkinan, seperti di bawah ini :
1. karena memang secara tekstual terlihat adanya kontradiksi dalil.
2. karena adanya kesulitan mengkompromikan dua dalil yang tampak kontradiksi.
3. karena adanya kesalahan anggapan mujtahid terhadap satu dalil yang sebetulnya bukan dalil.( 5 )
Pertentangan itu kadang kala juga disebankan karena salah anggapan, bahwa dua nas menunjukan dua hukum yang bertentangan. Padahal pada hakekatnya tidak terjadi pertentangan hukum dalam dua nas itu, akan tetapi masing-masing nas mempunyai arah yang berbeda dengan demikian, pertentangan itu terletak pada akal (kemampuan pemahaman ) seorang mujtahid, tidak terletak pada nash maupun hukum yang terkandung didalamya
Sedangkan Wahbah Al-zuhaili, mengemukakan bahwa adanya kontradiksi dalam dalil itu hanya dalam pandangan mujtahid, mungkin karena pandangan yang berbeda, atau karena faktor kekuatan logikanya, dan bukan suatu kontradiksi yang aktual karena tidak mungkin Allah Swt menurunkan aturan yang kontradiksi satu sama lain.
D. Perbedaan Antara Ta’arud Dengan Tanaqud dan Ta’adul
mengenai ta’arud dan tanaqud, ada beberapa pendapat diantaranya hanifah, syafi’iyah, jafariyah, bahwa dua istilah itu adalah tidak ada perbedaan. Menurut sebagian ulama hanafiyah ta’arud dengan tanaqud tidak sama. Mengutip imam al-bazdawi, bahwa tanaqud mengharuskan batalnya dalil yang sama, tetapi ta’arud mencegah tetapnya hukum tanpa adanya suatu dalil, pendapat ini berangkat dari makna tanaqud sendiri yaitu adanya dalil dalam beberapa persoalan yang tidak sesuai dengan konteks persoalan tanpa adanya pencegah.
Sedangkan makna ta’arud saling berhadapanya dua dalil yang sama dimana satu sama lainya dapat saling menggugurkan.
Adapun mengenai perbedaan antara ta’arud dan ta’adul imam Asyaukani berpendapat, bahwa keduanya sama, sebab dalil tidak kan disebut ta’arud kecuali setelah adanya ta’adul. Ta’adul dapat dengan tidak adanya satu dalil yang tampak lebih unggul dalam dua dalil yang saling bebeda.


E. Solusi Ta’arud Al-Adillah

Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil hukum, para ulama ushul fiqh bertolak pada satu prinsip yang dirumuskan dalam kaidah:
( ) artinya “mengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu di antaranya”.
Ada tiga tahap penyelesaian yang tergambar dalam kaidah itu: (6).(Prof.Dr.H. Amir Syarifudin.ushul fiqh 1, cet.ke-4, 2009. hal: 245)
)
1. sedapat mungkin kedua dalil itu dapat digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan.
2. setelah dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat digunakan sekaligus, maka diusahakan setidaknya satu diantaranya diamalkan sedangkan yang satu lagi ditinggalkan.
3. sebagai langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan keduanya.
Ahli ushul mengemukakan pendapat tentang cara menyelesaikan ta’arud al-adillah diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Menuurut Hanafiyah-Hanabilah
Apabila tampak pertentangan antara dua buah nash, hendaklah membatalkan yang terdahulu dari pada kemudian, jika dapat diketahui makna yang pertama, jika tidak dapat diketahui hendaklah ditarjih, salah satunya. Jika tidak mungkin ditarjih salah satunya, hendaklah dikumpulkan dan dikompromikan (al-jam’u wa taufiq) antara keduanya, jika inipun tidak dapat dilakukan maka hendaklah tasaqut. (7)
2. Menurut Malikiyah-Syafiiyah-zahiriyah
Apabila bertentangan dua buah nash, maka cara pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan (al-jam’u) dan kemudian dikompromikan (al-taufiq). Apabila pengkompromian tidak bisa dilakukan maka hendaklah tarjih salah satunya, berdasarkan dalil yang mendukungnya, apabila metode ini tidak dapat diamalkan, maka dengan menasakh, dalil yang datang dahulu (tentu dengan mengetahui sejarahnya), jika masih gagal, maka mujtahid harus tasaqut dari kedua dalil itu, kemudian berijtihad dengan dalil yang kwalitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut.(8)
3. Abdul Wahab Khalaf
Apabila bertentangan dua nash pada lahirnya, wajiblah untuk mengumpulkan (al-jam’u) dan mengkompromikan (al-taufiq) antara keduanya. Jika tidak dapat dikompromikan, hendaklah berijtihad untuk mentarjihkan salah satunya, jika tidak dapat ditarjihkan salah satunya, tetapi diketahui makna yang datang dahulu dan makna kemudian, maka hendaklah yang kedua dipandang nasakh yang pertama dan kedua mansukh, jika tidak dapat diketahui juga hendaklah tawaquf. (9)
Untuk lebih jelas lihat bagan dibawah ini :
Solusi Ta’rud al-adillah
NO Hanafiyah-Hanabilah Syafi’iyah-malikiyah-zahiriyah Abdul Wahab Khalaf
I
II
III
IV Nasakh
Tarjih
Al-Jam’u wa taufiq
Tasaqut Al-jam’u wa Taufiq
Tarjih
Nasakh
Tasaqut Al-jam’u wa taufiq
Tarjih
Nasakh
Tasaqut

Tampak jelas, ahli ushul berusaha keras untuk mencari jalan keluar terhadap adanya dalil yang terlihat kontradiksi, walaupun yang prioritas awal, ahli ushul masih berbeda.
F. Tawaquf
Bila penyelasaian dua dalil yang dipandang berbenturan dengan cara pertama (kompromi dan taufiq) dan dengan cara kedua (nasakh dan tarjih) tidak dapat dilakukan, maka ditempuh dengan cara ketiga yaitu kedua dalil tersebut ditinggalkan, salah satunya dengan tawaquf, tawaquf artinya ditangguhkan pengamalan kedua dalil itu sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara keduanya.(10 ) (Prof.Dr.H. Amir Syarifudin.ushul fiqh 1, cet.ke-4, 2009. hal: 248)
imam Ghazali dalam kitab Al-musytsyfa menjelaskan bahwa tawaquf sama sekali tidak boleh, beliau berkata :
“jika dalam suatu dalil sulit diambil mana yang rajih, maka diambil langkah jam’un, kalau tidak bisa tahyir (memilih) diantara dua. Seperti orang-orang yang bertanya kepada dua orang mufti yang sama-sama hebat maka ia memilih salah satu diantara dua pendapat. Akan tetapi tidak boleh tawaquf. Sebab menurutnya sampai kapan masa tawaqufnya.
G. Al-Jam’u Wa Taufiq
Al-Jam’u wa taufiq pengumpulan dalil-dalil yang terlihat kontradiksi, kemudian mengkompromikannya, hasil kompromi inilah yang menjadi hasil hukum.
Adapun mengenai perbedaan antara al-jam’u wa taufiq, kalau al-jam’u adalah usah untuk mengumpulkan atau menggabungkan antara dalil-dalil yang kontradiksi. Maksud menggabungkan disini adalah dalam rangka untuk menemukan titik-titik perbedaan atau persamaanya. Sedangkan at-taufiq adalah usaha mengkompromikan hal-hal yang telah ditemukan melalui proses sebelumnya. (al-jam’u)
Metode ini dapat dijabarkan ketika mendapatkan dua nash yang tampak kontradiksi. Metode ini sangat bermanfaat, yaitu nash-nash yang terlihat kontradiksi dapat diaplikasikan secara sekaligus.
Contoh QS.Al-baqarah : 180
        •         
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
QS An-nisa : 11
                .......
“Allah memerintahkan kepadamu terhadap anak-anakmu yaitu bagi laki-laki seperti bagian dua wanita”.
Ayat satu mewajibkan atas orang yang mewajibkan pusaka apabila mati, supaya berwasiat dan harta peninggalannya diberikan kepada ibu-bapak dan keluarga dekat, sedang ayat kedua mewajibkan ibu-bapak, anak-anak, kerabat atas hak tertentu dari harta peninggalanya. Perintah Allah bukan berdasar kepada wasiat si mati.
Kedua ayat tersebut tampak kontradiksi, tetapi hal tersebut dapat ditaufikan antara keduanya. Selanjutnya dapat menandaskan bahwa yang dikehendaki pada surat al-baqarah ayat 180 ialah ibu-bapak dan krabat yang menerima pusaka, karena suatu penghalang, yaitu anak laki-laki yang ditetapkan Allah pada ayat yang kedua.
Proses al-jam’u wa taufiq menurut ulama :
1. Menurut Hanafiyah
Proses tindakan al-jam’u wa taufiq itu bisa menggunakan dua cara, yaitu :
a. mentawilkan salah satunya (memalingkan dari makna yang sesungguhnya).
b. Takhsis
Contoh :
QS. Al-maidah : 3
( )
“diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”
QS.Al-An’am :145
( )
“kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir”.
2. Menurut Syafi’iyah, malikiyah, zahiriyah
Yaitu dengan memilih salah satu dari tiga cara yang dibawah ini :
a. membgi hukum yang kontradiksi
b. memilih salah satu hukum.
Contoh :
( )
“tidak (sempurna)shalat bagi tetangga mesjid kecuali dimesjid”
Kata “ ” dalam hadits tersebut mengandung arti, seperti tidak sah, tidak sempurna, atau tidak utama, maka dalam hal ini dapat memilih salah satunya.
c. Takhsis (pengkhususan)
Contoh : mengenai masa iddah wanita hamil.
Mengenai hubungan antara al-jam’u wa taufiq dengan tawaquf adalah dimana keberadaan tawaquf itu tergantung pada berhasil atau tidaknya proses al-jam’u wa taufiq, artinya jika pengkompromian menemui titik terang, maka tidak perlu tawaquf, namun apabila tidak berhasil maka rangkaian paling akhir dalam mengtasinya, adalah dengan tawaquf atau tasaqut sementara, sambil menyelidiki, dalil-dalil yang lebih rendah. Akhirnya hubungan antara al-jam’u wa taufiq dengan tawaquf adalah sama-sama menjadi bagian prosedur dalam mengatasi Ta’arud al-adillah.
Dengan demikian seluruh uraian diatas menegaskan bahwa sangat mustahil, jika dalil-dalil mengalami kontradiksi walaupun sepertinya ada, akan tetapi hakekatnya hal itu hanya pada lahirnya, bisa juga karena masih sebelum sampainya logika mujtahid untuk memahami kandungan di dalamnya.

istidlall

BAB XIV
ISTIDLAL SEBAGAI SALAH SATU ALAT ATAU CARA MELAKUKAN IJTIHAD
A. Pengertian Istidlal
Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Menurut bahasa Istidlal adalah menuntut atau mencari dalil. Sedangkan menurut istilah adalah mencari, mempergunakan, atau menjadikan dalil bagi sesuatu, menegakkan dalil untuk suatu hokum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma, qias ataupun lainnya. Istidlal menurut Al-Syaukani adalah upaya menemukan landasan hokum suatu kasus. Ada lagi yang mendefinisikan Istidlal sebagai metode berdalil dengan berbagai dalil hokum selain Al-Quran dan Al-Sunnah, atau usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.

B. Perbedaan Istidlal dan Istinbath dalam Proses Pelaksanaan Ijtihad
Dalam proses pelaksanaan ijtihad, Istidlal dan istinbath merupakan hal yang urgen, keduanya merupakan cara dalam upaya penggalian hokum. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu:
Istidlal Istinbath
Istidlal merupakan upaya mencari pemecahan dan ketetapan hokum terhadap suatu peristiwa atau masalah yang tidak dijelaskan ketetapan hukumnya dalam nash atau ijma.
Contoh: masalah transplantasi tubuh. Masalah ini tidak dijelaskan ketetapan hukumnya dalam nash atau ijma. Istinbath merupakan upaya mengeluarkan atau mengeksplorasi makna-makna atau kandungan hokum yang terkandung dalam nash.
Contoh: imam malik mengistingathkan hokum tentang tidak wajib zakat pada kuda. Alasannya, karena ia disebutkan secara bersamaan dengan bighal dan keledai dalam satu ayat, yaitu: “ Dan Dia telah menciptakan kuda, bighal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan”. (QS. Al-Nahl:8).

C. Kedudukan Istidlal dalam Berijtihad Hasilnya dalam Hukum Islam
Kedudukan Istidlal dalam berijtihad adalah sebagai salah satu alat atau cara dalam melakukan ijtihad guna mencari dalil dalam rangka menentukan ketetapan hokum dari peristiwa atau masalah yang muncul.
Dengan demikian, dalam hal ini, Istidlal sama dengan hasil ijtihad. Hasil (produk) ijtihad dalam hokum islam dapat dijadikan sebagai dalil hokum, namun bersifat dzanni. Artinya, relative kebenarannya, ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan, untuk yang bersifat dzanni menurut sebagian ulama ushul fiqh, tidak dinamakan dalil, melainkan disebut imarah (indikasi). Akan tetapi, jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa petunjuk untuk mendapatkan hokum islam yang bersifat ‘amali baik yang bersifat dzanni maupun yang bersifat qath’i disebut dengan dali.

D. Proses Pelaksanaan Istidlal dalam Berijtihad
Pelaksanaan Istidlal dalam berijtihad dalam rangka mengambil kesimpulan hokum dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan ma’na (thuruq ma’nawiyah)
و ا لمعنو ية هي ا لستد لا ل من غير ا لنصو ص كا لقيا س و ا لستحسا ن و ا لمصا لح و ا لذ ر ا ع و غير ذ لك
“pendekatan ma’na ialah penarikan kesimpulan hokum dari selain nash. Maksudnya tidak langsung dari nash. Seperti mengguankan qiyas, istihsan, mashalih al-mursalah, Sadd al-Dzara’i dan sebagainya.”
2. Pendekatan lafdzi (thuruq lafdziyah)
Pendekatan lafadz penerapannya membutuhkan beberapa factor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafadz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi ataukan termasuk dalalah yang mafhum yang diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarah-ibarah nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari lafadz nash apakah berdasarkan ibarah nash ataukah isyarah nash dan sebaginya.

E. Pelaku Istidlal dan Waktu Pelaksanaan
Pelaku Istidlal adalah para ulama Mujtahid, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan Istidlal sama dengan orang yang melakukan ijtihad yaitu Mujtahid. Menurut ajaran islam mujtahid boleh berijtihad hanya yang bersangkut paut dengan urusan muamalat (keduniaan) jadi bukan urusan ibadat dan aqaid dan yang terhadap permasalahan-permasalahan hokum yang tidak didapati ketentuannya dalam al-Quran atau Sunah Rasul.
Istidlal dilaksanakan apabila ada sesuatu permasalahan yang membutuhkan jalan pemecahannya atau jalan keluarnya, sementara nash dan ijma’ tidak menjelaskan ketentuan hukumnya.

F. Pengertian Istidlal Mursal dan Contohnya
Istidlal mursal disebut juga munasib mursal, yaitu sesuatu yang baik menurut akal dan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, tetapi tidak ada dalil yang menentukan secara terperinci bahwa syariat melarang atau memperbolehkannya.
Menurut ulama ushul fiqh, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah untuk menyebut Istidlal mursal, sedangkan istilah istislah disebutkan oleh imam al-ghazali dan al-haramain al-juwaini, sementara ibnu al-sam’ani menyebutnya Istidlal, dan ulama ushul menyebutnya dengan Istidlal al-mursalah.
Jadi Istidlal al-mursalah adalah suatu upaya penetapan hokum yang di dasarkan pada kemashlahatan kendati tidak terdapat ketentuanya di dalam nash ataupun ijma, tidak ada pula penolakan atasnya secara tegas tetapi kemashlahatan itu didukung oleh dasar syari’at yang bersifat umum dan pasti, sesuai dengan maksud syara’. Contoh Istidlal mursal adalah sebagai berikut:
Di dalam nash tidak ditemukan perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tetapi umat islam mengkodifikasikan Al-Qur’an dalam satu mushaf, hal ini dilakukan tidak lain karena untuk kemashlahatan umat.

G. Kaitan Istidlal dengan Munasib dalam Membicarakan Qias pada Ushul Fiqih Syafi’iyah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Istidlal adalah penarikan kesimpulan hokum. Ahli mantiq membagi Istidlal (secara umum) menjadi dua, yaitu:
1. Istidlal Qiasi
2. Istidlal Istiqra’i
Penarikan kesimpulan hokum melalui Istidlal Qiasi dilakukan dengan menyusun dua qhadiyah, yang satu merupakan ashl dan yang lainnya adalah furu’. Antara ashl dan furu’ harus ada kesesuaian (munasib) ‘illatnya.
Contohnya:
Setiap yang memabukkan hukumnya haram (qhadiyah pertama sekaligus juga ashl). Berdasarkan hadits nabi saw:
كل مسكر حرا م (ر و ا ه مسلم)
Arak memabukkan (qhadiyah kedua sekaligus juga furu’).
Anatara ashl dan furu’ terdapat kesesuaian ‘iliat, yaitu memabukkan. Maka, kesimpulan hukumnya (Istidlal) adalah arak itu haram.

H. Pengertian dan macam-macam munasib
Munasib adalah sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemadharatan.
Al;amidi memberikan definisi dengan:
اا لمنا صب عبا ر ة عن وصف ظا هر منضبط يلز م من تر تب الحكم علي و فقه حصو ل علي ما يصلح ا ن يكو ن مقصو دا من شر ع ذ لك الحكم
“Munasib adalah ibarat dari suatu sifat yang dzahir (jelas) dan terukur, yang dari penetapan hukum atas dasar sifat itu niscaya akan tercapai apa yang patut menjadi tujuan ditetapkannya hukum tersebut.”
Dari definisi yang dikemukakan lihat bahwa al-amidi terlihat bahwa munasib itu dikaitkan kepada pencapaian tujuan pada suatu hukum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan kemadharatan dari umat.
Adapun pembagian munasib dari segi layak atau tidaknya dijadikan illat, menurut ushul fiqh, ada empat macam, yaitu:
1. Munasib almuatsir, yaitu, berlakunya ain illat (illat itu sendiri) dalam ain hukum (hukum itu sendiri) yang dipandang atau diperhitungkan oleh nash atau ijma’. Artinya, nash atau ijma’ itu sendiri yang menjelaskan illat itu untuk suatu hukum secara langsung.
Umpamanya penetapan ‘illat membatalkan wudhu dengan memegang kelamin. Hal ini ditetapkan langsung oleh nash sebagaimana terdapat hadis nabi dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh tirmidzi.
Contoh illat yang dipandang oleh ijma’ adalah menetapkan ‘illat kewalian ayah atas harta anak dibawah umur, keadaan “dibawah umur “ adalah ‘illat yang ditetapkan berdasaarkan ijma’.
2. Munasib al-mulghi, yaitu sifat yang menurut pandangan mujtahid mengandung kemaslahatan, tetapi ada nash hokum yang menolaknya. Misalnya, menetapkan kaffarah puasa dua bulan berturut-turut bagi orang kaya yang melakukan hubungan suami istri di siang hari di bulan ramadhan mengandung kemashlahatan, yaitu agar bisa mencegahnya melakukan hal yang sama, karena jika dikenakan kafarah memerdekakan budak, hal ini tidak akan mempengaruhi sifatnya, disebabkan dia orang kaya, sehingga berapapun banyak budak bisa ia merdekakan. Akan tetapi, sesuai dengan nash, kaffarah untuk kasus-kasus seperti ini harus dilakukan dengan berturut-turut dengan memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut, dan apabila tidak mampu juga, maka member makan enam puluh orang miskin. Oleh karena itu, mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut dianggap bertentangan dengan nash.
3. Munasib al-mursal, yaitu suatu sifat yang tidak didukung oleh nash dan tidak didukung oleh isyara’, namun sifat ini mengandung suatu kemaslahatan yang didukung oleh sejumlah makna nash.
Menurut ulama malikiyah dan hanabilah, sifat seperti ini dapat dijadikan ‘illat, dengan alas an bahwa sekalipun nash secara rinci tidak ada yang mendukung saat ini, namun sifat ini didukung oleh sejumlah makna nash. Pendapat mereka ini juga diterima Imam Ghazaji, dengan syarat bahwa kemashlahatannya bersifat dharuri, pasti dan universal. Akan tetapi, menurut ulama hanafiyah dan syafi’iyah tidak dapat dijadikan illat hukum, karena tidak didukung secara langsung oleh nash yang rinci.
4. Munasib al-mula’lim, yaitu kesesuaian yang berlakunya ‘ain ‘illat untuk ‘ain hukum secara langsung bukan ditetapkan oleh nash atau ijma’. Namun, nash atau ijma’ secara langsung memandang hubungan ‘illat dengan hukum tersebut dengan cara memandang ‘ain sifat untuk jenis hukum atau jenis sifat untuk ‘ain hukum, bahkan juga jenis sifat untuk jenis hukum. Dengan demikian, munasib mula’im itu ada tiga bentuk:
• Nash atau ijma memandang ‘ain sifat berlaku untuk jenis hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat itu berlaku sebagai ‘illat untuk hukum itu, namun pernah memandang ‘ain ‘illat (sifat) berlaku sebagai ‘illat untuk suatu hukum yang sejenis dengan itu.
Umpamanya menetapkan kewalian nikah anak yang belum dewasa dengan ‘illat “belum dewasa”. Berlakunya illat “belum dewasa” untuk kewalian nikah tidak dipndang oleh nash atau ijma, namun ijma pernah memandang belum dewasa itu menjadi illat untuk hukum yang sejenis dengan itu, yaitu kewalian harta. Kedua kewalian itu berada dalam satu jenis kewalian.
• Nash atau ijma memandang jenis sifat untuk ‘ain hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat itu berlaku untuk ‘ain hukum, namun nash atau ijma pernah memandang sifat yang sejenis dengan itu berlaku untuk ‘ain hukum tersebut.
Umpamanya, kebolehan menjama’ shalat pada waktu hujan. Keadaan waktu hujan itu tidak pernah menjadi ‘illat yang ditetapkan oleh nash atau ijma’. Namun nash pernah menetapkan sifat lain yang sejenis dengan itu menjadi illat untuk bolehnya menjama’ shalat, yaitu dalam keadaan perjalanan. Kedua illat itu berada dalam satu jenis, yaitu sama-sama dalam kesulitan.
• Nash atau ijma hanya memandang jenis sifat menjadi illat untuk jenis hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat menjadi illat untuk ‘ain hukum. Namun nash atau ijma pernah memandang sifat yang sejenis dengan itu menjadi hukum bagi hukum lainnya yang sejenis dengan itu.
Umpamanya, seorang wanita yang sedang haid tidak wajib meng qahda shalat. Illatnya adalah kesukaran berulang-ulang qadha.
Kesukaran berulang-ulang melakukan qadha itu memang tidak pernah dijadikan nash atau ijma sebagai illat untuk hukum tidak wajibnya qadha shalat. Tetapi sifat yang sejenis dengan itu, yaitu kesukaran dalam perjalanan dipandang oleh nash menjadi illat untuk hukum yang sejenis dengan qadha, yaitu qashar shalat. Kedua sifat ini satu jenis, yaitu sama-sama dalam keringanan. Dengan demikian, setiap yang bersifat menyulitkan dapat menjadi illat bagi setiap hukum yang bersifat keringanan.
Jumhur ulama menerima keillatan suatu hukum yang hubungan antara keduanya dalam bentuk munasib mula’im, karena adanya pengakuan dari nash atau ijma, meskipun dalam bentuk yang paling kecil sebagaimana dalam bentuk ketiga dari bentuk munasib mula’im tersebut.