Rabu, 31 Maret 2010

Bab V
MAQASHID SYARI’AH DAN PROBLEMATIKANYA

A. Definisi Maqashid Syari’ah
Dari segi bahasa maqashid syar’ah berarti tujuan atau maksud disyari’atkannya hukum Islam. Oleh karena itu, yang menjadi bahasan utama adalah masalah hikmah dan ‘illat ditetapkannya suatu hukum. Sedangkan menurut istilah maqashid ayari’ah adalah tujuan disyari’atkannya hukum dalam Islam guna memelihara kemashlahatan umat manusia didunia dan diakhirat baik berupa mendatangkan manfaaat maupun menghindarkan mudharat.
Contoh : Diwajibkannya shalat, zakat puasa, dan jihad fi sabilillah adalah untuk memelihara agama.

B. Perbedaan antara Maqshid Syari’ah, Maqashid Tasyri’, dan Maqashid Ahkam.
Untuk menjawab permasalahan ini, terlebih dahulu harus ditelaah arti tiap-tiap term tersebut secara khusus, karena ketiga term tersebut sangat berkaitan dan selintas tidak ada perbedaan diantara ketiganya.
Secara etimilogi syari’ah berarti jalan ketempat pengairan, Didalam Al-Qur’an kata syari’ah disebutkan beberapa kali, saeperti pada Q.S. al-Maidah : 48, al-Syuro : 13, dan al-Jatsiyah: 18, yang mengandung pengertian jalan yang membawa kepada kebahagiaan. Dalam hal ini kata syari’ah dengan pengairan adalah siapa saja yang mengikuti syari’ah ia akan mengalir berjalan sesuai jalurya dan bersih jiwanya.
Sedangkan menurut terminology, Syari’ah adalah segala peraturan Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia yang bersifat ‘amaliyah. Jadi, bila kata syari’ah disandingkan dengan kata maqashid (maqashid syari’ah) berarti tujuan dari segala perturan Allah yang berhubungan dengan tindak-tanduk manusia bersifat ‘amaliyah.
Sedangkan kata tasyri’ seakar dengan kata syari’ah. Ia adalah mashdar dari fi’il tsulstsi mazid stu huruf wazan taf’il yang berarti menetapkan syari’ah. Jadi Maqashid Tasyri’ adalah tujuan Allah menetapkan syari’ah.
Adapun ahkam adalah jama’ dari kata hukum. Josep Scacht mendefinisikan , hukum –dalam konteks Islam- adalah keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Dari definisi ini tampak bahwa hukum(Islam) itu mendekati kepada arti syari’ah. Sementara Hasby al-Shiddiqy mendefinisikan, hukum adalah sekumpulan upaya para ahli hukum untuk menetapkan syari’ah dalam kehidupan masyarakat.
Dari dua definisi diatas, kami lebih setuju dengan definisi yang diberikan oelh Hasby al-Shidiqy. Dengan demikian maqashid Ahkam adalah tujuan diterapkannya syari’ah dalam kehidupan masyarakat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan perbedaan antara maqashid ahkam, maqashid tasyri’, dan maqashid ahkam adalah sebagai berikut :
Maqashid Syari’ah Maqashid Tasyri’ Maqashid Ahkam.
Tujuan dari segala peraturan Allah yang bersifat ‘amaliyah Tujuan ditetapkannya peraturan-peraturan tersebut. Tujuan diterapkannya peraturan-peraturan tersebut dalm kehidupan masyarakat.

C. Cara Mengetahui Maqashid Syari’ah dan Statusnya dalam Berhujjah.
Sebanarnya maqashid itu dapat diketahui oleh orang yang mau berfikir dengan baik, meskipun bagi sebagian orang masih dirasa samar atau mereka berbeda pendapat mengenai esensi maqashid tersebut. Perbedaan persepsi tentang maqashid ini sebenarnya bermula dari perbedaan kemampuan intelektual orang-perorang sehingga tidak diketemukan esensi maqashid yang sebenarnya dalam hukum Islam.
Para ulama ushul memililki cara berbeda-beda untuk mengetahui maqashid. Dalam hal ini, kami mengutip pemaparan Imam Syatibi. Ia memaparkan teorinya sebagai berikut :
Untuk mengetahui maqashid, maka terlebih dahulu harus diketahui’illat hukum tersebut. Setelah ‘illatnya diketahui maka dengan mudah akan dikeyahui pula hikmahnya dan setelah diketahui hikmahnya maka tidaklah sulit untuk mengetahui maqashidnya.
Contohnya : kebolehan melakukan shalat qasar ditetapkan dalam kitabulah dan al-Sunnah. Safar atau bepergian adalah ‘illat hukumnya, sedangkanmenghindari masyaqat adalah hikmah dibolehkanya melakukan qashar.
Dari contoh diatas diketahui bahwa ‘illatnya adalah safar dan dalam safar keungkinan besar adanya masyaqat. Jadi hikmahnya untuk menghindari kesulitan(masaqat) telah dijelaskan dimuka bahwa tujuan umum disyari’atkannya hukum dalam Islam adalah untuk kemashlahatan manusia. Mashlahat tersebut bisa berupa mendatangkan manfaat atau menghindari mudharat(kesulitan). Dan jika dikaitkan dengan lima hal yang dharuriyah, maka dengan mudah kita dapat menjawab bahwa hal itu adalah untuk memelihata agama.
Hampir semua ulama Ushul menyepakati kehujjahan maqashid syari’ah dan mereka menggunakannya dalam berijtihad sesuai dengan metode ijtihadnya masing-masing. Dalm konteks ini Imam Juwaini mengatakan : ”Seseorang dikatakan tidak dapat mampu menetapkan hukum Islam sebelum ia mampu memehami benar maqashid syari’ah”.

D. Arah dan Tujuan Hukum Islam menurut Muhamad Abu Zahra.
Dalam bukunya Ushul Fiqh, Abu Zahra berpendapat bahwa hukum Islam ditunjukkan kepada tiga perkara, yakni :
1. Tahdzib al-Fard, yaitu mensucikan jiwa setiap muslim agar dapat menjadi sumber kebahagiaan bagi dirinya, masyarakat dan lingkungannya. Hal ini ditempuh melalui berbagai macam ibadah yang disyari’atkan, yang kesemuanya itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial, sehingga setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi lingkungannya. Contohnya : disyari’atkannya zakat adalah untuk membersihkan diri dan harta orang lain yang mengeluarkannya serta untuk memperkuat persaudaraan antara si kaya dan si miskin.
2. Al-Iqamah al-Adli fi al-jama’ah al-Islamiyah, yaitu menegakkan keadilan dalam bermasyarakat Islam, adil baik menyangkut urusan sesama kaum Muslimin maupun dengan pihak lain (non muslim) sesuai dengan peraturan undang-undang yang telah ditetapkan syari’ah Islam. Firman A-llah
          •            •        

8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Maidah : 8)

3. Mashlahah, yaitu untuk memelihara kemashlahatan dan merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai dalam setiap penetapan hukum Islam. Tidak sekali-kali suatu perkara disyari’atkan dalam islam melainkan disitu terkandung mashlahah yang hakiki, walaupun kadang mashlahah itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup oelh hawa nafsunya.
Mashlahah secara bahasa berarti manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. sedangkan secara istilah, kami mengambil definisi yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali –menurut kami inilah yang paling refrentif-. Yaitu :
د قع المفا سد و جلب المنا فع للمحا فظة علي مقصو د الشرع
“Mashlahah adalah menolak mafsadat dan mengambil manfaat guna memelihara tujuan-tujuan syara”.
Contoh : larangan syari’at untuk mendekati perbuatan zina adalah untuk kemashlahatan manusia, yaitu memelihara kesucian keturunan dan menghindarkan manusia dari kemungkinan terjangkit penyakit (kelamin).

E. Pengetian dan contoh Maqashid Ammah min Tasyri’il Islam.
Secara bahasa Maqashid Ammah min Tsyri’il Islam adalah tujuan umum ditetapkannya hukum Islam sedangkan menurut istilah adalah :

منع المفا سد من دنيا الناس و جلب المصا لح لهم وسيا سة الد نيا بالحق والعد ل والخير وتو ضيخ معا لم الطر يق إمام العقل البشري

”Mencegah mafsadat bagi manusia didunia dan mendatangkan mashlahah kepada mereka, mengendalikan dunia denga kbenaraan, keadilan, dan kebajikan serta menerangkan tanda-tanda jalan yang harus dilalui dihadapan akal manusia”.
Contohnya adalah ditetapkannya shalat bagi umat Islam selain untuk memelihara agama juga untuk mewujudkan masyarakat yang thoyyiba h. Sebagaimana firman:
         
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. (Q.S al-‘Ankabut : 45)

F. Pembagian Maqashid dari segi bobotnya (kulli,juz’I dan khassy) dan kekuatannya untuk dijadikan Dalil (qath’I, dzanni, dan wahmy).
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka bahwa tujuan disyari’atkannya hukum dalam Islam secara umum adalah untuk memelihara kemashlahatan manusia. Dalam hal ini, tingkatan atau kedudukan mashlahah itu tidaklah sama derajatnya. Dari sudut ini, Imam Izuddin ibnu Abdi Salam membagi maqshid kepada tiga tingkatan, yaitu :
1. Maqashid Kulli, yaitu tujuan disyari’atkannya hukum yang mengandung mashlahat paling tinggi dan utama. Yakni mashlahah yang menolak segala kemafsadatan dan mendatangkan kemashlahatan yang paling kuat, baik bagi pelakunya maupun bagi orang lain (masyarakat). Pada tingkat inipun Izzuddn membagi lagi kedalam tiga tingkat, yakni :
a. Mahlahah yang paling utama
b. Mashlahah yang utama
c. Mashlahah yang kurang utama
Menurutnya, dalam pelaksanaannya yang harus dikerjakan terlebih dahulu adalah yang paling kuat mashlahatnya. Dia memberikan contoh, yang terjemahnya kurang lebih: “Mendahulukan menyelamatkan orang yang tenggelam atas mengerjakan shalat adalah suatu hukum yang sudah tetap. Karena menyelamatkan orang yang tenggelam yang jiwanya terpelihara disisi Allah adalah lebih utama dari shalat”.
2. Maqashid Juz’I, yaitu tujuan disyari’atkannya hukum mengandung mashlahah berupa mendatangkan manfaat atau menghindari mudharat bagi sebagan orang-orang tertentu. Izzuddin memberi contoh: Pembolehan shalat qshar bagi orang yang yang sedang dalam perjalanan adalah untuk emghindarkan masyaqqat bagi orang tersebut. Jadi, keringanan tersebut untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan saja.
3. Maqashid Khassi, yaitu tujuan disyari’atkannya hukum yang mengandung mashlahah hanya bagi orang-orang tertentu. Izzuddin mengemukakan contoh: Peraturan syari’at tentang keringanan untuk tidak mengqadha shalat bagi wanita yang sedang haid. Keringanan tersebut khusus ditujukan untuk wanita.
Sedangkan pembagian maqashid dari segi kekuatannya untuk dijadikan dalil adalah sebagai berikut :
1. Maqashid Qath’I
Maqashid yang qath’I adalah tujuan disyari’atkannya hukum terhadap suatu perkara yang disebutkan secara ekspilisit didalam nash yang menetapkan hukum tersebut. Contoh :
        
179. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Q.S. Al-baqarah: 179).

2. Maqashid Dzanni
Maqashid yang dzanni adalah tujuan disyari’atkannya hukum terhadap suatu perkara yang tidak disebutkan secara eksplisit didalam nash tersebut, tetapi terdapat isyarat atau tanda yang menjadi alat untuk mengetahuinya. Contoh :
          

101. Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qasharsembahyang(mu), (Q.S. An-Nisa: 101).

3. Maqashid Wahmi
Maqashid yang wahmi adalah tujuan disyari’atkannya hukum terhadap suatu perkara yang tidak disebutkan secara eksplisit didalam nash tersebut dan tidak ada tanda atau isyarat untuk mengetahuinya, tujuannya baru dikatahui setelah dilakukan penelitian. Contoh :
              
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil Maka (kawinilah) seorang .... (Q.S. An-Nisa : 4).
Dalam ayat diatas tidak disebutkan secara eksplisit tujuan diperbolehkannya berpoligami bagi laki-laki dan tidak ada pula isyarat yang memberitahu keberadaannya. Tujuannya baru diketahui setelah dilakukannya penelitian terhadapnya. Yakni, untuk menjaga kemshlahatan manusia ketika dihadapkaan dalam kondisi tertentu, yaitu :
a. Sebagai jalan yang terbaik untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur sementara istrinya mandul.
b. Untuk menjaga keutuhan rumah tangga tanpa menceraikan istri yang pertama, sekalipun istri tersebut tidak menjalankan funfsinya sebagai istri karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan, misalnya.
c. Utik menjaga kaum wanita dari krisis akhlaq bagi yang tingal di negara atau daerah yang jumlah wanitanya lebih banyak dari kaum prianya.

G. Pengertian dan Contoh hak Allah dan hak Hamba dalam Syari’at Islam.
Yang dimaksud dengan hak Allah adalah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ dimana tujuan penetapan hukumnya ditujukan untuk kemashlahatan masyarakat (umum).
Contohnya adalah ibadah ‘amaliyah seperti shalat, zakat puasa dan haji. Ibadah-ibadah tersebut bertujuan untuk menegakkan agama yang akan berimplikasi terwujudnya ketertiban dan kesejahtraan masyarakat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hak hamba adalah perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ dimana tujuan penetapan hukumnya ditujukan untuk kemashlahatan perorangan atau individu.
Contoh: Menerima upah atau honor kerja, managih hutang kepada orang yang berhutang. Semuan itu adalah hak bagi orang mukallaf yang berasangkutan. Mereka dapat memilih antara menunaikan haknya tersebut atau meniggalkannya atau menyerahkan hak tersebut. Semuanya itu tidak termasuk kepada mashlahah umum.

H. Prioritas Pemberian(pemenuhan) hak Allah dan hak Hamba.
Untuk menjawab permasalahan diatas, maka terlebih dahulu harus diteliti dengan seksama terhadap suatu hukum tearsebut agar konklusi yang dihasilkan dapat diakui kehujjahannya.
Misalkan dalam kasus pidana had qadzaf (manuduh zina wanita muslim). Jika dilihat dari satu sisi pidana tersebut memelihara kehormatan manusia dan mencegah permusuhan sesama manusia, serta mengikis silang siur fitnah, maka berarti pemberian hukuman had tersebut merupakan kemashlahatan umum, maka ia termasauk kepada hak Allah. Tetapi jika dilihat dari sisi yang lain pidana had tersebut menghindarkan seorang wanita muslimah baik-baik dari tuduhan keji yang tidak berdasar, maka berarti ia adalah kemashlahatan individu, maka ia termasuk kepada ahak individu.
Akan tetapi dari sisi pertama lebih menonjol dalam perkara hukum ini. Karenanya hak Allah yang diprioritaskan. Dan wanita yang dituduh berzina tidak dapat menggugurkan pidana tersebut, karena tidak mempunyai hak untuk menggugurkannya, dia juga tidak dapat melaksanakan pidana itu oleh dirinya sendiri. Karena pidana-pidana yang menjadi hak Alah harus dilaksanakan oleh ulil amri.
Dalam kasus lain, mengenai hukum qishash bagi pelaku pembunuhan dengan sengaja. Dari satu segi hukum qishsash itu bertujuan untuk menjamin kehidupan manusia, maka ia berarti menjadi hak Allah. Tetapi dari segi lain hukum qishashs dapat memadamkan api kemarahan dan mengobati hati yang hendak menuntut balas. Maka ia berarti kemashlahatan perorangan, karenaya aia adalah hak individu atau hamba.
Akan tetapi dari segi kedua inilah yang lebih kuat. Oleh karena itu, si pembunuh tidak akan dihukum qishash jika tidak dituntut oleh keluarga si terbunuh atau jika dimaafkan. Dalam hal ini, keluarga si terbunuh dapat memilih antara melaksanakan haknya dengan menuntut si pembunuh ke pengadilan atau tidak melaksanakannya/mengambil haknya (tidak menuntut si pembunuh) atau memaafkannya. Dalam kasus ini hak hamba yang diprioritaskan.
Jadi, untuk menentukan hak siapa yang harus didahulukan atau diprioritaskan, maka perlu dengan diteliti dengan seksama karena setiap kasus atau masalah memiliki titik tekan (stressing) yang berbeda-beda. Dalam hal ini mengenai kashlahatan yang ditunjukkan kepada perorangan dan masyarakat.


I. Fungsi Maqashid dalam Berijtihad Menentukan Hukum Islam.
Sebelum menentukan ketetapan suatu hukum, seorang mujtahid harus mengetahui tujuan disyari’atkannya hukum tersebut. Imam Juwaini mengatakan “seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum Islam sebelum ia mampu memahami benar maqashid syari’ah”.
Contoh kasus: dalam menetapkan hukum thalaq yang dijatuhkan dalam keadaan marah, apakah thalaqnya jatuh atau tidak? Untuk dapat menetapkan status hukumnya, maka haru diketahui dulu tujuan disyari’atkan thalaq. Secara dzahir thalaq tersebut jatuh, karena memenuhi rukun thalaq –lihat kitab fiqh- tetapi jika merujuk kepada maqashidnya, maka thalaq tersebut tidak jatuh (inilah pendapat jumhur ulama). Tujuan disyari’atkan thalaq adalah sebagai jalan keluar yang terakhir dalam memecahkan masalah rumah tangga.
Jadi, pengatahuan tentang maqashid syari’ah menjadi kunci bagi kebrehasilan mujtahid dalam ijtihadnya.