Jumat, 07 Mei 2010

istidlall

BAB XIV
ISTIDLAL SEBAGAI SALAH SATU ALAT ATAU CARA MELAKUKAN IJTIHAD
A. Pengertian Istidlal
Istidlal makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang lain. Menurut bahasa Istidlal adalah menuntut atau mencari dalil. Sedangkan menurut istilah adalah mencari, mempergunakan, atau menjadikan dalil bagi sesuatu, menegakkan dalil untuk suatu hokum, baik dalil tersebut berupa nash, ijma, qias ataupun lainnya. Istidlal menurut Al-Syaukani adalah upaya menemukan landasan hokum suatu kasus. Ada lagi yang mendefinisikan Istidlal sebagai metode berdalil dengan berbagai dalil hokum selain Al-Quran dan Al-Sunnah, atau usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Sunnah.

B. Perbedaan Istidlal dan Istinbath dalam Proses Pelaksanaan Ijtihad
Dalam proses pelaksanaan ijtihad, Istidlal dan istinbath merupakan hal yang urgen, keduanya merupakan cara dalam upaya penggalian hokum. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu:
Istidlal Istinbath
Istidlal merupakan upaya mencari pemecahan dan ketetapan hokum terhadap suatu peristiwa atau masalah yang tidak dijelaskan ketetapan hukumnya dalam nash atau ijma.
Contoh: masalah transplantasi tubuh. Masalah ini tidak dijelaskan ketetapan hukumnya dalam nash atau ijma. Istinbath merupakan upaya mengeluarkan atau mengeksplorasi makna-makna atau kandungan hokum yang terkandung dalam nash.
Contoh: imam malik mengistingathkan hokum tentang tidak wajib zakat pada kuda. Alasannya, karena ia disebutkan secara bersamaan dengan bighal dan keledai dalam satu ayat, yaitu: “ Dan Dia telah menciptakan kuda, bighal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya perhiasan”. (QS. Al-Nahl:8).

C. Kedudukan Istidlal dalam Berijtihad Hasilnya dalam Hukum Islam
Kedudukan Istidlal dalam berijtihad adalah sebagai salah satu alat atau cara dalam melakukan ijtihad guna mencari dalil dalam rangka menentukan ketetapan hokum dari peristiwa atau masalah yang muncul.
Dengan demikian, dalam hal ini, Istidlal sama dengan hasil ijtihad. Hasil (produk) ijtihad dalam hokum islam dapat dijadikan sebagai dalil hokum, namun bersifat dzanni. Artinya, relative kebenarannya, ada kemungkinan benar dan ada kemungkinan salah. Abdul Wahab Khalaf menjelaskan, untuk yang bersifat dzanni menurut sebagian ulama ushul fiqh, tidak dinamakan dalil, melainkan disebut imarah (indikasi). Akan tetapi, jumhur ulama ushul fiqh menyatakan bahwa petunjuk untuk mendapatkan hokum islam yang bersifat ‘amali baik yang bersifat dzanni maupun yang bersifat qath’i disebut dengan dali.

D. Proses Pelaksanaan Istidlal dalam Berijtihad
Pelaksanaan Istidlal dalam berijtihad dalam rangka mengambil kesimpulan hokum dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan ma’na (thuruq ma’nawiyah)
و ا لمعنو ية هي ا لستد لا ل من غير ا لنصو ص كا لقيا س و ا لستحسا ن و ا لمصا لح و ا لذ ر ا ع و غير ذ لك
“pendekatan ma’na ialah penarikan kesimpulan hokum dari selain nash. Maksudnya tidak langsung dari nash. Seperti mengguankan qiyas, istihsan, mashalih al-mursalah, Sadd al-Dzara’i dan sebagainya.”
2. Pendekatan lafdzi (thuruq lafdziyah)
Pendekatan lafadz penerapannya membutuhkan beberapa factor pendukung yang sangat dibutuhkan, yaitu penguasaan terhadap makna (pengertian) dari lafadz-lafadz nash serta konotasinya dari segi umum dan khusus, mengetahui dalalahnya apakah menggunakan manthuq lafdzi ataukan termasuk dalalah yang mafhum yang diambil dari konteks kalimat; mengerti batasan-batasan (qayyid) yang membatasi ibarah-ibarah nash; kemudian pengertian yang dapat dipahami dari lafadz nash apakah berdasarkan ibarah nash ataukah isyarah nash dan sebaginya.

E. Pelaku Istidlal dan Waktu Pelaksanaan
Pelaku Istidlal adalah para ulama Mujtahid, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang melakukan Istidlal sama dengan orang yang melakukan ijtihad yaitu Mujtahid. Menurut ajaran islam mujtahid boleh berijtihad hanya yang bersangkut paut dengan urusan muamalat (keduniaan) jadi bukan urusan ibadat dan aqaid dan yang terhadap permasalahan-permasalahan hokum yang tidak didapati ketentuannya dalam al-Quran atau Sunah Rasul.
Istidlal dilaksanakan apabila ada sesuatu permasalahan yang membutuhkan jalan pemecahannya atau jalan keluarnya, sementara nash dan ijma’ tidak menjelaskan ketentuan hukumnya.

F. Pengertian Istidlal Mursal dan Contohnya
Istidlal mursal disebut juga munasib mursal, yaitu sesuatu yang baik menurut akal dan pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan, tetapi tidak ada dalil yang menentukan secara terperinci bahwa syariat melarang atau memperbolehkannya.
Menurut ulama ushul fiqh, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah al-mursalah untuk menyebut Istidlal mursal, sedangkan istilah istislah disebutkan oleh imam al-ghazali dan al-haramain al-juwaini, sementara ibnu al-sam’ani menyebutnya Istidlal, dan ulama ushul menyebutnya dengan Istidlal al-mursalah.
Jadi Istidlal al-mursalah adalah suatu upaya penetapan hokum yang di dasarkan pada kemashlahatan kendati tidak terdapat ketentuanya di dalam nash ataupun ijma, tidak ada pula penolakan atasnya secara tegas tetapi kemashlahatan itu didukung oleh dasar syari’at yang bersifat umum dan pasti, sesuai dengan maksud syara’. Contoh Istidlal mursal adalah sebagai berikut:
Di dalam nash tidak ditemukan perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tetapi umat islam mengkodifikasikan Al-Qur’an dalam satu mushaf, hal ini dilakukan tidak lain karena untuk kemashlahatan umat.

G. Kaitan Istidlal dengan Munasib dalam Membicarakan Qias pada Ushul Fiqih Syafi’iyah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Istidlal adalah penarikan kesimpulan hokum. Ahli mantiq membagi Istidlal (secara umum) menjadi dua, yaitu:
1. Istidlal Qiasi
2. Istidlal Istiqra’i
Penarikan kesimpulan hokum melalui Istidlal Qiasi dilakukan dengan menyusun dua qhadiyah, yang satu merupakan ashl dan yang lainnya adalah furu’. Antara ashl dan furu’ harus ada kesesuaian (munasib) ‘illatnya.
Contohnya:
Setiap yang memabukkan hukumnya haram (qhadiyah pertama sekaligus juga ashl). Berdasarkan hadits nabi saw:
كل مسكر حرا م (ر و ا ه مسلم)
Arak memabukkan (qhadiyah kedua sekaligus juga furu’).
Anatara ashl dan furu’ terdapat kesesuaian ‘iliat, yaitu memabukkan. Maka, kesimpulan hukumnya (Istidlal) adalah arak itu haram.

H. Pengertian dan macam-macam munasib
Munasib adalah sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemadharatan.
Al;amidi memberikan definisi dengan:
اا لمنا صب عبا ر ة عن وصف ظا هر منضبط يلز م من تر تب الحكم علي و فقه حصو ل علي ما يصلح ا ن يكو ن مقصو دا من شر ع ذ لك الحكم
“Munasib adalah ibarat dari suatu sifat yang dzahir (jelas) dan terukur, yang dari penetapan hukum atas dasar sifat itu niscaya akan tercapai apa yang patut menjadi tujuan ditetapkannya hukum tersebut.”
Dari definisi yang dikemukakan lihat bahwa al-amidi terlihat bahwa munasib itu dikaitkan kepada pencapaian tujuan pada suatu hukum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan kemadharatan dari umat.
Adapun pembagian munasib dari segi layak atau tidaknya dijadikan illat, menurut ushul fiqh, ada empat macam, yaitu:
1. Munasib almuatsir, yaitu, berlakunya ain illat (illat itu sendiri) dalam ain hukum (hukum itu sendiri) yang dipandang atau diperhitungkan oleh nash atau ijma’. Artinya, nash atau ijma’ itu sendiri yang menjelaskan illat itu untuk suatu hukum secara langsung.
Umpamanya penetapan ‘illat membatalkan wudhu dengan memegang kelamin. Hal ini ditetapkan langsung oleh nash sebagaimana terdapat hadis nabi dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh tirmidzi.
Contoh illat yang dipandang oleh ijma’ adalah menetapkan ‘illat kewalian ayah atas harta anak dibawah umur, keadaan “dibawah umur “ adalah ‘illat yang ditetapkan berdasaarkan ijma’.
2. Munasib al-mulghi, yaitu sifat yang menurut pandangan mujtahid mengandung kemaslahatan, tetapi ada nash hokum yang menolaknya. Misalnya, menetapkan kaffarah puasa dua bulan berturut-turut bagi orang kaya yang melakukan hubungan suami istri di siang hari di bulan ramadhan mengandung kemashlahatan, yaitu agar bisa mencegahnya melakukan hal yang sama, karena jika dikenakan kafarah memerdekakan budak, hal ini tidak akan mempengaruhi sifatnya, disebabkan dia orang kaya, sehingga berapapun banyak budak bisa ia merdekakan. Akan tetapi, sesuai dengan nash, kaffarah untuk kasus-kasus seperti ini harus dilakukan dengan berturut-turut dengan memerdekakan budak, jika tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut, dan apabila tidak mampu juga, maka member makan enam puluh orang miskin. Oleh karena itu, mendahulukan puasa dua bulan berturut-turut dianggap bertentangan dengan nash.
3. Munasib al-mursal, yaitu suatu sifat yang tidak didukung oleh nash dan tidak didukung oleh isyara’, namun sifat ini mengandung suatu kemaslahatan yang didukung oleh sejumlah makna nash.
Menurut ulama malikiyah dan hanabilah, sifat seperti ini dapat dijadikan ‘illat, dengan alas an bahwa sekalipun nash secara rinci tidak ada yang mendukung saat ini, namun sifat ini didukung oleh sejumlah makna nash. Pendapat mereka ini juga diterima Imam Ghazaji, dengan syarat bahwa kemashlahatannya bersifat dharuri, pasti dan universal. Akan tetapi, menurut ulama hanafiyah dan syafi’iyah tidak dapat dijadikan illat hukum, karena tidak didukung secara langsung oleh nash yang rinci.
4. Munasib al-mula’lim, yaitu kesesuaian yang berlakunya ‘ain ‘illat untuk ‘ain hukum secara langsung bukan ditetapkan oleh nash atau ijma’. Namun, nash atau ijma’ secara langsung memandang hubungan ‘illat dengan hukum tersebut dengan cara memandang ‘ain sifat untuk jenis hukum atau jenis sifat untuk ‘ain hukum, bahkan juga jenis sifat untuk jenis hukum. Dengan demikian, munasib mula’im itu ada tiga bentuk:
• Nash atau ijma memandang ‘ain sifat berlaku untuk jenis hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat itu berlaku sebagai ‘illat untuk hukum itu, namun pernah memandang ‘ain ‘illat (sifat) berlaku sebagai ‘illat untuk suatu hukum yang sejenis dengan itu.
Umpamanya menetapkan kewalian nikah anak yang belum dewasa dengan ‘illat “belum dewasa”. Berlakunya illat “belum dewasa” untuk kewalian nikah tidak dipndang oleh nash atau ijma, namun ijma pernah memandang belum dewasa itu menjadi illat untuk hukum yang sejenis dengan itu, yaitu kewalian harta. Kedua kewalian itu berada dalam satu jenis kewalian.
• Nash atau ijma memandang jenis sifat untuk ‘ain hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat itu berlaku untuk ‘ain hukum, namun nash atau ijma pernah memandang sifat yang sejenis dengan itu berlaku untuk ‘ain hukum tersebut.
Umpamanya, kebolehan menjama’ shalat pada waktu hujan. Keadaan waktu hujan itu tidak pernah menjadi ‘illat yang ditetapkan oleh nash atau ijma’. Namun nash pernah menetapkan sifat lain yang sejenis dengan itu menjadi illat untuk bolehnya menjama’ shalat, yaitu dalam keadaan perjalanan. Kedua illat itu berada dalam satu jenis, yaitu sama-sama dalam kesulitan.
• Nash atau ijma hanya memandang jenis sifat menjadi illat untuk jenis hukum. Artinya, sebenarnya nash atau ijma tidak pernah memandang ‘ain sifat menjadi illat untuk ‘ain hukum. Namun nash atau ijma pernah memandang sifat yang sejenis dengan itu menjadi hukum bagi hukum lainnya yang sejenis dengan itu.
Umpamanya, seorang wanita yang sedang haid tidak wajib meng qahda shalat. Illatnya adalah kesukaran berulang-ulang qadha.
Kesukaran berulang-ulang melakukan qadha itu memang tidak pernah dijadikan nash atau ijma sebagai illat untuk hukum tidak wajibnya qadha shalat. Tetapi sifat yang sejenis dengan itu, yaitu kesukaran dalam perjalanan dipandang oleh nash menjadi illat untuk hukum yang sejenis dengan qadha, yaitu qashar shalat. Kedua sifat ini satu jenis, yaitu sama-sama dalam keringanan. Dengan demikian, setiap yang bersifat menyulitkan dapat menjadi illat bagi setiap hukum yang bersifat keringanan.
Jumhur ulama menerima keillatan suatu hukum yang hubungan antara keduanya dalam bentuk munasib mula’im, karena adanya pengakuan dari nash atau ijma, meskipun dalam bentuk yang paling kecil sebagaimana dalam bentuk ketiga dari bentuk munasib mula’im tersebut.

1 komentar:

  1. The King Casino Hotel | Jamul Casino & Spa
    The 토토사이트 King Casino Hotel is set 1 mile south of Jamul Casino, 1 MPRC Blvd, Jamul, 토토 사이트 Georgia. View map. This casino offers a variety 바카라사이트 of gaming options apr casino including slots, https://jancasino.com/review/merit-casino/

    BalasHapus