Kamis, 30 Desember 2010

PEMAHAMAN GURU PAI MENGENAI KETUNTASAN BELAJAR

PEMAHAMAN GURU PAI MENGENAI KETUNTASAN BELAJAR
(Sebuah Catatan)*
Oleh: Muhammad Zuhdi, PhD**


Pendahuluan
Salah satu tugas besar yang dihadapi para guru adalah mereka diharapkan mampu mengantarkan siswa-siswinya mampu menyelesaikan pendidikan dengan baik, sehingga mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau mengaplikasikan kemampuan yang mereka miliki dalam kehidupan sehari-hari.
Kata-kata “menyelesaikan pendidikan dengan baik” kedengarannya klise dan sederhana, namun di situ terkandung makna kualitas pendidikan. Karena selesai dengan baik, tidak sekedar berarti memperoleh nilai yang memadai, tetapi ia lebih berarti penguasaan terhadap berbagai aspek pendidikan yang diharapkan. Berbagai upaya dilakukan oleh pendidik dan berbagai teori dilahirkan oleh para alhi pendidikan untuk memastikan bahwa proses pendidikan benar-benar mampu mengantarkan peserta didik memahami pengetahuan, menguasai keterampilan dan memiliki nilai yang dikehendaki bersama-sama.
Ada salah kaprah di kalangan sebagian pendidik dalam memahami tugas mereka mendampingi anak-anak didik mereka. Tugas pendidik sering dibatasi pada penyampaian materi pembelajaran kepada sekelompok siswa atau peserta didik. Tugas dianggap selesai apabila guru, selaku pendidik, telah mengajarkan apa yang seharusnya mereka ajarkan kepada peserta didik. Kemudian evaluasi dilakukan untuk menentukan kelaikan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Pandangan tersebut berimplikasi pada kealpaan pendidik untuk memperhatikan daya serap siswa secara individual. Padahal, proses pembelajaran seharusnya ditujukan pada kemampuan siswa sebagai individu, meskipun kemampuan itu bisa saja dibangun secara kelompok. Akibatnya, seringkali sekelompok siswa dalam sebuah rombongan belajar memiliki tingkat penguasaan berbeda terhadap materi yang mereka pelajari bersama-sama.
Di sinilah perbedaan pandangan antara sekelompok siswa yang belajar bersama-sama dengan siswa sebagai individu yang belajar dalam kelompok. Pandangan yang pertama berimplikasi pada pandangan bahwa kemampuan mayoritas siswa dalam kelompok mewakili kemampuan kelompok. Inilah yang terkadang mengakibatkan guru merasa telah selesai menjalankan tugas ketika seluruh materi telah selesai disampaikan. Padahal belum semua siswa memahami dengan tepat apa yang seharusnya mereka kuasai. Pandangan kedua lebih melihat bagaimana siswa sebagai individu mampu menguasai materi pelajaran yang mereka terima secara maksimal, meskipun dengan cara dan tempo yang berbeda dengan siswa lain. Dalam konteks yang terakhir inilah konsep pembelajaran tuntas dimaknai.
Konsep ini semakin relevan manakala membicarakan pendidikan agama. Sebagai bangsa yang beragama, bangsa Indonesia meyakini betul pentingnya nilai-nilai agama dalam kehidupan baik individu maupun kelompok. Oleh karena itulah pendidikan agama menjadi pelajaran wajib di sekolah-sekolah di Indonesia. Concern terhadap pendidikan agama tidak cukup dengan hanya dengan menjadikannya pelajaran wajib. Tetapi lebih dari itu, harus juga memperhatikan sejauh mana penanaman pengetahuan dan nilai-nilai agama telah terjadi dalam proses pembelajaran tersebut. Di sinilah letak pentingnya untuk memastikan agar seluruh siswa yang belajar PAI benar-benar memahami, menghayati dan mengimplementasikan pengetahuan dan nilai-nilai yang mereka peroleh. Hal ini baru akan mungkin jika proses pembelajaran yang dilakukan benar-benar mampu mengantarkan mereka untuk menguasai materi pelajaran PAI secara maksimal.

Konsep Belajar Tuntas
Ide dasar dari konsep belajar tuntas adalah bahwa setiap individu sebenarnya memiliki potensi untuk memahami dan menguasai materi pelajaran yang diterima selama didukung oleh waktu dan cara belajar yang tepat. Oleh karena itu, daya serap siswa terhadap sebuah materi pelajaran tidak semata-mata ditentukan oleh ”kecerdasan” siswa tersebut, tetapi lebih pada berapa banyak waktu yang digunakan untuk benar-benar memahami pelajarannya. Individu yang berbeda memiliki kebutuhan waktu yang berbeda untuk benar-benar menguasai sebuah materi pelajaran.
Menurut konsep ini, belajar bukan semata-mata proses transfer pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi lebih merupakan bagaimana upaya guru untuk memastikan bahwa setiap siswa mampu menguasai secara maksimal materi pelajaran yang diajarkan. Oleh karena itu, tugas guru bukan semata-mata menyampaikan materi, tetapi lebih dari itu adalah membimbing dan membantu siswa, terutama yang memerlukan waktu berbeda dari yang lain, untuk benar-benar dapat menguasai materi palajaran.
Berdasarkan pemahaman di atas, pada prinsipnya ada dua hal penting yang melandasi asumsi ketuntasan belajar ini. Yaitu bahwa setiap siswa mampu menguasai materi pelajaran hingga 100% selama diberikan:
1. Waktu yang memadai (dengan catatan bahwa tiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda). Ini berarti siswa memiliki kesempatan untuk menunjukkan penguasaannya atas tujuan pembelajaran yang diharapkan.
2. Metode pembelajaran yang tepat dengan mempertimbangkan materi yang disampaikan. Pemilihan metode ini disertai dengan perumusan tujuan pembelajaran yang jelas dan terukur, serta ketentuan bahwa siswa baru dapat mengikuti tema baru setelah terbukti menguasai materi pelajaran yang diajarkan sebelumnya. Oleh karenanya, tahapan-tahapan perumusan mengenai tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh siswa menjadi sangat menentukan.
Berkaitan dengan poin no. 2 di atas, Siegfried Engelmann (1999) menganalogikan proses pembelajaran tuntas dengan anak tangga. Setiap siswa yang belajar untuk mencapai tujuan tertentu adalah serupa dengan siswa yang berupaya untuk naik dari lantai satu ke lantai dua dengan meniti sejumlah anak tangga. Dengan memperhatikan kemampuan fisik dan kecepatan dalam melangkah, setiap siswa membutuhkan waktu yang berbeda untuk meniti anak-anak tangga tersebut. Jika secara rata-rata kelompok berada di anak tangga no. 5 menuju anak tangga no. 6, tidak semua siswa benar-benar berada di anak tangga no. 5. Siswa yang benar-benar berada di anak tangga no. 5 hanya butuh satu langkah untuk mencapai anak tangga no. 6, sementara siswa yang berada di anak tangga no. 4 perlu dua langkah, dan yang berada di no. 3 perlu tiga langkah dan seterusnya. Siswa yang berada di anak tangga terbawah memerlukan waktu dan usaha yang ekstra untuk bisa menyamai posisi siswa yang ada di posisi yang seharusnya.
Anak tangga di atas adalah laksana unit dalam belajar. Penguasaan terhadap sebuah unit mutlak diperlukan sebelum mempelajari unit berikutnya. Kegagalan menguasai sebuah unit berarti tidak tercapainya ketuntasan belajar yang diharapkan. Jika seorang siswa belum menguasai sebuah unit dan dipaksakan untuk mengikuti unit berikutnya, maka dapat dipastikan siswa tersebut tidak akan memahami mata pelajaran yang diajarkan secara komprehensif, dan ini tentu saja akan sangat merugikan siswa tersebut di masa depan. Oleh karena itu, kemampuan setiap individu siswa dalam menguasai setiap unit menjadi penting dan harus terukur.
Siswa dalam konsep belajar tuntas dipandang sebagai individu yang potensial untuk mampu menguasai materi yang diajarkan. Persoalannya adalah setiap individu membutuhkan waktu dan cara belajar yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran. Oleh karena itu, guna memastikan ketuntasan belajar, siswa yang memiliki kebutuhan yang berbeda dari kelompoknya harus memperoleh perhatian khusus. Biasanya perhatian secara khusus ini di berikan kepada slow learners dan fast learners dengan fokus yang berbeda.
Penelitian Howard Gardner yang menghasilkan teori kecerdasan ganda (multiple intelligence theory) mengindikasikan bahwa manusia memiliki perbedaan dalam penguasaan aspek-aspek pendidikan (kecerdasan). Mereka yang cerdas dalam satu aspek belum tentu cerdas dalam hal lain. Maknanya di sini adalah bahwa kecerdasan tidak bisa dirata-ratakan untuk setiap materi pelajaran. Karenanya, setiap mata pelajaran harus memiliki diagnosis tersendiri terhadap siswa dan tidak menggunakan hasil sebuah diagnosis (daya serap siswa) untuk seluruh mata pelajaran.

Belajar Tuntas dan KTSP
KTSP merupakan pengembangan dari pola kurikulum sebelumnya yaitu KBK (kurikulum berbasis kompetensi). Kompentensi adalah kemampuan tertentu yang harus dikuasai oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, kompetensi haruslah terukur dan terdeskripsikan dengan jelas. Penguasaan kompetensi merupakan indikator keberhasilan pencapaian kurikulum dan juga keberhasilan siswa dalam belajar serta guru dalam mengajar. Dalam kerangka inilah penting dirumuskan ukuran ketercapaian tujuan yang dalam KTSP dikenal dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Kriteria Ketuntasan Minimal ini adalah rumusan batas minimal yang harus dikuasai oleh siswa terhadap mata pelajaran tertentu untuk bisa mengikuti pelajaran berikutnya. Siswa dianggap belum layak mengikuti pelajaran lanjutnya jika belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal tersebut. KTSP mengamanatkan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal ditetapkan oleh sekolah dengan memperhatikan tiga aspek berikut ini:
1. Ketuntasan belajar ideal untuk setiap indikator adalah 0 – 100 %, dgn batas kriteria ideal minimum 75 %.
2. Sekolah harus menetapkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) per MP dengan mempertimbangkan: kemampuan rata-rata peserta didik, kompleksitas dan SDM.
3. Sekolah dapat menetapkan KKM di bawah batas kriteria ideal, tetapi secara bertahap harus dapat mencapai kriteria ketuntasan ideal.

Keunikan KTSP dibanding dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya adalah bahwa KTSP memberikan keleluasaan bagi sekolah dan guru untuk mengembangkan program pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan mereka dengan tetap mengacu pada standar nasional. Oleh karena itu, di dalam menetapkan KKM, analisa terhadap kemampuan peserta didik dan dukungan fasilitas di sekolah menjadi sangat penting.


Mengukur implementasi Ketuntasan Belajar
Menyadari pentingnya ketuntasan belajar bagi siswa sebagai individu, perlu ditegaskan kembali di sini bahwa proses pembelajaran hendaknya mengantarkan masing-masing individu siswa untuk menguasai kompetensi sekurang-kurangnya sampai batas ketuntasan minimal tersebut. Penting untuk diingat bahwa ada perbedaan mendasar antara “90% siswa telah menguasai materi” dengan “setiap siswa telah menguasai 90% materi.” Kriteria Ketuntasan Minimal harus mengarahkan guru pada yang kedua.
Keberhasilan kurikulum dan pencapaian tujuan pendidikan akan sangat bergantung pada implementasi kebijakan pendidikan tersebut di lapangan. Dalam konteks ini, guru memainkan peranan yang sangat penting. Guru adalah kunci sukses pendidikan di sekolah, karena itu ketika dikatakan bahwa Kriteria Ketuntasan Minimal ditetapkan oleh sekolah, maka gurulah yang menentukan berhasil atau tidaknya KKM tersebut dicapai. Gordon (2003: 312) secara explicit mengatakan bahwa “orang yang paling berpengaruh (baik dalam makna positif atau sebaliknya) buat siswa di sekolah adalah guru.”
Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa guru seringkali dibatasi oleh kebijakan dan kondisi lokal. Guru yang inovatif sekalipun tidak akan mampu mengembangkan inovasinya jika tidak didukung oleh lingkungan sekolah yang terbuka terhadap inovasi. Begitu juga dalam penerapan Ketuntasan Belajar, di samping kemampuan guru, maka penting juga untuk diketahui seberapa besar sekolah mengakomodasi agenda guru untuk melaksanakan pembelajaran tuntas ini.
Secara garis besar, ada lima hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui apakah konsep belajar tuntas telah dilaksanakan dengan baik, yaitu:
1. Pemahaman guru dan kepala sekolah atas konsep belajar tuntas. Pemahaman akan konsep menjadi hal utama yang harus diperhatikan, karena kesalahpahaman terhadap konsep akan menyebabkan kekeliruan dalam implementasi. Kekeliruan yang sering terjadi adalah belajar tuntas dipahami sama dengan mengajar tuntas. Sementara mengajar tuntas seringkali dipahami sebagai upaya guru untuk menyelesaikan materi pelajaran yang harus diajarkan dalam waktu yang tersedia, tanpa memperhatikan daya serap siswa. Padahal tugas guru dalam konsep belajar tuntas tidak sekedar menyampaikan materi sampai habis, tetapi juga memastikan tiap siswa menguasai materi yang disampaikan. Oleh sebab itu, pemahaman yang komprehensif terhadap konsep ini merupakan modal utama bagi kesuksesan implementasinya. Di samping itu, perlu pula disadari bahwa keberhasilan sebuah program pendidikan pada tingkat kelas tidak hanya bergantung kepada guru, tetapi juga kepala sekolah selaku pemegang kebijakan di sekolah. Tidak jarang guru yang berniat menerapkan metode pembelajaran tertentu terganjal oleh ketidakpahaman pimpinan sekolah atas metode yang diterapkan itu, yang pada gilirannya menjadi faktor penghambat. Oleh sebab itu, perlu juga dipahami sejauhmana kepala sekolah memahami konsep pembelajaran tuntas ini.
2. Penyusunan tujuan dan materi pelajaran berdasarkan unit yang disertai dengan indikator ketercapaian unit. Belajar tuntas memerlukan perencanaan, pengorganisasian dan pengukuran keberhasilan yang sangat detail dan hati-hati (Burden & Byrd, 1999: 91). Ketersediaan tujuan, materi pelajaran serta ukuran keberhasilan dalam unit-unit yang jelas akan sangat membantu guru dan siswa dalam mencapai dan mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran. Hal ini seringkali menjadi hambatan dalam penerapan belajar tuntas, karena ada guru yang merasa penerapan belajar tuntas dengan keharusan merumuskan tujuan, materi dan indikator secara spesifik, serta diagnosis siswa secara individu, sangat melelahkan dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tetapi tanpa keseriusan dalam melakukan hal-hal tersebut, tentu saja ketuntasan belajar sulit tercapai. Penyusunan tujuan, materi pelajaran dan indikator keberhasilan adalah langkah awal dari implementasi pola pembelajaran tuntas. Informasi mengani aspek-aspke tersebut merupakan indikator keseriusan guru dalam upaya mengimplemantasikan konsep belajar tuntas.
3. Pandangan dan perlakuan terhadap siswa sebagai individu. Kemampuan siswa sebagai individu yang belajar harus dapat diukur atau didiagnosa baik sebelum atau sesudah belajar. Siswa sebagai peserta didik memiliki hak sepenuhnya untuk menguasai pelajaran yang mereka ikuti. Hak tersebut tidak akan terpenuhi secara maksimal jika mereka hanya dilihat sebagai kelompok, dan bukan sebagai individu. Meskipun pandangan terhadap siswa sebagai individu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemahaman tentang konsep belajar tuntas, pandangan tersebut tidak akan berarti jika tidak ada konsep khusus yang berlaku di kelas saat impelementasi. Pandangan dan perlakuan ini diawali dengan pola bagaimana guru melakukan diagnosa terhadap kemampuan individu siswa.
4. Pelayanan terhadap siswa yang memiliki kebutuhan berbeda. Sebagai kelanjutan dari pandangan terhadap siswa sebagai individu, perlu ada affirmative action terhadap siswa yang memerlukan perhatian khusus dalam belajar. Seperti telah dikemukakan di muka, bahwa salah satu implikasi dari konsep belajar tuntas adalah adanya treatment khusus terhadap siswa yang memang memiliki kebutuhan yang berbeda. Kebutuhan yang berbeda ini dapat diartikan dua hal, yaitu siswa yang penguasaannya kurang (slow learner) dan siswa yang tingkat penguasaannya melebih rata-rata (fast learner). Sebelum pelayanan khusus diberikan, tentu harus ditentukan dulu paramater yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang dianggap slow learner, average learner, atau fast learner. Implikasi dari identifikasi perbedaan kemampuan belajar siswa ini adalah adanya program-program khusus yang dimaksudkan untuk memfasilitasi para siswa dengan kebutuhan yang berbeda. Keberadaan program khusus ini merupakan indikasi implementasi pembelajaran tuntas. Tentu saja, perlu secara khusus dipastikan apakah program-program tersebut (baik remedial maupun akselerasi) dilaksanakan secara efektif atau tidak.
5. Dukungan sekolah dalam penyediaan waktu dan fasilitas. Sebagaimana pentingnya pemahaman kepala sekolah dalam hal konsep, maka sedemikian penting juga peran sekolah dalam hal kebijakan dan implementasinya. Pembelajaran tuntas memerlukan waktu, fasilitas dan tenaga ekstra dalam implementasinya. Sudah barang tentu guru tidak bisa melaksanakan itu tanpa dukungan fasilitas dari kepala sekolah. Dua hal krusial yang merupakan implikasi dari metode belajar tuntas ini adalah perlunya ekstra waktu dan fasilitas bagi guru dan siswa. Oleh karena itu, penting untuk diketahui sejauh mana pihak sekolah mengantisipasi hal tersebut.
Itulah lima hal mendasar yang penting dalam mengukur penerapan ketuntasan belajar dis ekolah. Kelima hal tersebut tentu saja perlu diperinci lebih lanjut dalam bentuk indikator-indikator dan diterjemahkan dalam instrumen.

Ketuntasan belajar dalam Pendidikan Agama
Pendidikan agama memiliki kekhasan jika dibandingkan dengan materi pendidikan yang lain. Kekhasan utama ialah jika kebanyakan materi pendidikan memberikan bekal kecerdasan terhadap siswa, dan karenanya penguasaan terhadap materi menjadi amat penting, maka orientasi pendidikan agama bukanlah kecerdasan intelektual semata. Dalam perspektif pendidikan agama, kecerdasan intelektual merupakan salah satu modal untuk mencapai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi, yaitu kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual.
Salah satu tantangan bagi teori ketuntasan belajar ini adalah memastikan bahwa belajar agama tidak dianggap tuntas hanya dengan penguasaan materi pelajaran. Padahal tujuan pendidikan agama tidak berhenti pada penguasaan pengetahuan agama saja, melainkan juga pada bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai agama itu dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, jika memungkinkan, perlu dirumuskan lebih lanjut kriteria ketuntasan belajar dalam konteks pendidikan agama.
Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia, pendidikan agama Islam memiliki metode sendiri dalam ketuntasan belajar. Jika sekolah-sekolah modern yang kita kenal dewasa ini mengelompokkan siswa berdasarkan usia dalam rombongan belajar, maka di masa lalu tidak ada pengelompokkan itu. Pengelompokkan itu pada gilirannya menegasikan perbedaan kemampuan individu dalam menyerap dan menguasai materi pelajaran tertentu. Padahal, dalam sistem pendidikan pesantren tradisional, tidak ada pembatasan masa belajar bagi peserta didik (santri). Setiap santri harus dapat menyesuaikan kemampuan pribadinya dengan beban belajar yang dia miliki. Oleh karena itu setiap santri memiliki masa belajar yang berbeda dengan teman-temannya.

Penutup
Efektivitas pembelajaran sering diukur semata-mata dengan prestasi belajar siswa di sekolah, yaitu dengan melihat nilai akhir, tanpa memperhatikan proses pembelajarannya. Sehingga seringkali kesalahan tertimpa kepada siswa yang prestasinya dibawah rata-rata. Padahal belum tentu siswa tersebut mengalami proses pembelajaran sesuai dengan yang ia butuhkan. Pendekatan pembelajaran tuntas merupakan salah satu upaya memperhatikan bagaimana proses pembelajaran bisa memastikan penguasaan materi pelajaran di kalangan siswa. Hal ini dimungkinkan karena pembelajaran tuntas menghendaki adanya penguasaan menyeluruh (mastery) oleh siswa.
Namun demikian ada dua hal penting yang selayaknya diingat ketika kita melakukan studi terhadap pembelajaran tuntas dalam konteks PAI. Pertama, perlu diingat bahwa materi pelajaran PAI tidak hanya menyentuh aspek kognitif saja, karenanya kekhasan materi PAI tentu perlu mendapat perhatian oleh secara spesifik. Kedua, sejalan dengan itu, ukuran dan penilaian oleh guru hendaknya tidak melulu bersifat kuantitatif, yaitu menterjemahkan penguasaan materi dengan angka. Perlu juga diimbangi dengan ukuran yang bersifat kualitatif, yaitu bagaimana observasi terhadap perilaku dan akhlak siswa dilakukan oleh guru, baik secara individual maupun tim.





Referensi:

Burden, P. R. & Byrd, D. M. (1999) Methods for Effective Teaching (edisi 2). Needham Heights, MA: Allyn and Bacon.

Gordon, T. (2003) Teacher Effectiveness Training (Edisi 2). New York: Three Rivers Press.

Siegfried Engelmann (1999) Program Alignment and Teaching to Mastery. Paper Presented at the 25th National Direct Instruction Conference, Eugene, Oregon, July, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar